"Enjoy Your Life Aja Dehh..." Part.19
“Jangan Hanya Mau Menang? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
“Jika
satu hal kebaikan bagi kemanusiaan masih kurang, tidakkah yang kurang itu –
Kemanusiaan
itu sendiri?”
Oleh Aris Rasyid Setiadi
Diaspora Wah untuk Tersejarah |
Cerita sebelumnya part. 2: “Ketika
Kita Terjatuh? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 3: “Hari
Ini Cukup Baperan? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 4: “Pagi
Malu Tuk Menampakkan? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 5: “Terburuk
di Saat Terpuruk? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 6: “Sisi
Penerimaan tak Berada? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 7: “Awal
Narasi 'Kado' Tuhan? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 8: “Kau
Terlalu Maha Santuy? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 9: “Ceritaku Tak Lagi Menyapa? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 10: “1642 Hariku Terjarah? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 11: “Pejuang Ketidakpastian? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 12: “Elegansi Diri? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 13: “Asertif Hanya Cara? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 14: “Tirani Mayoritanisme? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja"
Cerita sebelumnya part. 15: “Aksa Simpul? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja"
Cerita sebelumnya part. 16: “Nothing is Perfect? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 17: “A-Frame Manusia 3 in 1? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 18:“Menyoal Diri Yang Unik? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Cerita sebelumnya part. 18:“Menyoal Diri Yang Unik? Aahh Entahlah.. Oke Lupakan Saja”
Ketika tulisan ini dibuat, aku
belum tahu mana persis pemenang hasil pemilihan juara esai nasional dari
kementerianku di dema kemarin. Dunia tabulasi data tengah adu keakuratan data.
Membandingkan atau berhak memproklamirkan kemenangannya, katanya.
Setelahnya, flashback seketika itu aku jadi teringat
kisah seorang anak dari keluarga pas-pasan yang mengikuti sebuah kompetisi
balap mobil hasil rakitan sendiri. Si anak, yang hasil rakitannya terbuat dari
kayu sederhana dan tampak sangat tidak menarik, ternyata berhasil masuk ke
babak final. Lawannya tentu saja mobil-mobil yang lebih gagah dengan ornamen
yang menarik.
Sesaat sebelum final dimulai,
si bocah ini meminta waktu sebentar, lalu ia berkomat-kamit seperti berdoa.
Singkat cerita, banyak orang yang tak mengunggulkannya terhenyak. Mobil
sesederhana ini yang ternyata menjadi pemenangnya. Betapa senangnya anak ini.
Ketika piala akan diserahkan,
aku bertanya apakah benar kamu tadi berdoa agar Tuhan memberikannya kemenangan?
Si bocah menjawab,”Aku memang ingin
menang, tapi rasanya tak adil meminta Tuhan mengalahkan orang lain untukku.
Jadi aku hanya minta pada Tuhan supaya aku tidak menangis kalau kalah.”
Pembelajaran yang ingin kubagikan adalah bersiap untuk
kalah dengan gentle seperti bocah
tadi patut menjadi pembelajaran bagi kita. Selendang kekalahan memeluk sahabatnya
untuk menjadi lembut hati sekaligus menempanya dengan kualitas-kualitas emasnya
akhlak, sekelas rendah hati, sabar, tulus, dan lapang dada. Kita yang terbiasa
melatih diri merengkuh kekalahan dengan senyum tulus itulah bakal pemimpin yang
sudah tertempa kedalaman jiwanya.
“Pada titik inilah, sungguh
aku masih perlu banyak harus belajar.” Senyum simpulku
“Dunia tabulasi data tengah adu keakuratan data, sementara kita masih
tengah adu kata tak bermakna.” – Aris
Rasyid Setiadi
Komentar
Posting Komentar