Kanal Progresif : Guyonan Analisis

"Melupa Rasa Kebenaran"
“Bagaimanakah kewarasan itu?”
Oleh Aris Rasyid Setiadi

Sumber ilustrasi : boardgame.id
Dalam momen ini penulis ingin memberikan sedikit semacam analisis guyonan biar tidak sepaneng atas kondisi dunia yang sekarang ini kurang baik. Dimana penulis mencoba menuangkan secangkir kopi pertanyaan atas keraguan kehidupan ke dalam cangkir kewarasan.
Dunia sepakat bahwasanya penalaran otak manusia itu luar biasa, demikian kesimpulan ilmuwan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah. Sedangkan sebodoh-bodohnya umat kerbau, kita tidak curang dan serakah...' Pernyataan yang lugu ini, namun benar dan mengena, sungguh menggelitik nurani kita.
Merupakan kenyataan tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Namun apakah selalu demikian?
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhan ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh berhasil dikembangkin namun juga berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu disini bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Manusia kehilangan kemanusiaannya, kehilangan mahal arti kemanusiaannya. Terampas dalam kewenangan teknologi dan terpenjara dalam ilmu itu sendiri.
Menghadapi kenyataan seperti ini, nalar alami mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya, seperti untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? ke arah mana perkembangan keilmuan harus dipahamkan?

Sumber ilustrasi : aa.com.tr
Kembali kita flashback sejarah beratus tahun lalu, walau sejarah kadang ditulis oleh rezim yang berkuasa namun tetap saja ada goresan sejarah yang lahir atas nama kemanusiaan. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa meminum racun dan John Huss dibakar. Itu hanya contoh kecil sebuah kebenaran dihalangi atas dasar kekuasaan. Semacam penalaran irasional dan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. Diri akan semakin sedih dan ikut nelangsa jika semakin tahu kebenaran sejarah tiap masa, melihat dunia sejatinya begitu tak gagah perkasa.
Kalau tidak, tinggal menunggu waktu saja akan kehancuran supra sistem dunia, semacam analogi gong perang dunia ketiga ditabuh, seluruh bayang bayang yang lama bersembunyi akan tampil dengan senjata warfare kerennya masing-masing. Dimana 16 titik dunia bermain sebagai dalang di pewayangan bumi, terkoneksi untuk mengubah wajah dunia dalam bingkai teknologi, bingkai keilmuan yang ada untuk menggerakan dengan hebat mimpi-mimpi VUCA. Mereka siap berperang untuk mempertahankan eksistensinya di tatatan global atau justru akan di reset atau restart kembali tatanan global wajah peradaban. Adu domba, bermain penuh intrik itulah cara bermain dalam geopolitik. Terlebih akan menjadi semakin panas dengan adanya pertempuran November mendatang di Amerika yang akan ikut memutuskan kemana arah gerak dari Perang Dingin ini, dimana mereka dan dunia selalu bermain dengan isu-isu yang tak kalah mentereng dengan peci bapak Bupati Banyumas kita.

Kuncinya peperangan >< kemanusiaan, dan pengetahuan untuk kekuasaan. Coba dihubungkan. Belum paham? 

Di orgel Torriceli
Kita nyanyikan Toselli
Tidak lagi serenata
Sekadar bunyi kata-kata.

Masih ingat atau pernah baca pesan ilmuwan yang menemukan rumus E=mc2? ya kala itu Einstein pernah mengatakan kepada mahasiswa California Institute of Technology, "Jangan kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan." Sungguh suatu pesan yang patut kita renungkan karena di tengah tumpukan grafik dan rumus-rumus kadang-kadang kita lupa, semua ini untuk apa? Ternyata ilmu tidak saja memerlukan intelektual namun juga keluhuran moral. Tanpa itu maka ilmu hanya akan menjadi Frankenstein yang akan mencekik penciptanya dan menimbulkan malapetaka.

"Segalanya punya moral !!', kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, 'Asalkan kau mampu menemukannya." (Adakah yang lebih gemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial, dalam avontur intelektual?)

Aku tidak suka saat-saat menjadi mahasiswa, dimana seringkali aku menemukan sisi kehidupan yang amoralitas, penuh kebusukan para manusia-manusia dunia.

Komentar

Postingan Populer