#MenolakLupa!! #JanganAmnesia!!! Konflik Sampit, Kegagalan Merawat Luka Pahit




“Menolak Lupa! Peristiwa Meletusnya Konflik Sampit”

Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial – Goenawan Mohammad Sastrawan Indonesia.
Oleh Aris Rasyid Setiadi



Apa jadinya ketika dua etnis yang berbeda dan memiliki karakter yang sama-sama keras bertemu? Sekecil dan sesederhana apapun masalah yang muncul, potensi kekerasan pasti tak terhindarkan. Perang dan pembantaian dianggap sebagai jalan yang paling “gagah” untuk menunjukkan siapa sesungguhnya yang kuat dan “berhak” bereksistensi.
Konflik Sampit yang terjadi pada Februari 18 tahun silam adalah rentetan dari sekian peristiwa berdarah antara etnis Dayak dan Madura. Dua etnis itu sudah berkali-kali mementaskan drama mengerikan di Kalimantan Barat. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas.
Konon, konflik antar etnis itu dipicu oleh masalah yang sebenarnya sangat sepele. Tetapi, provokasi dan emosi yang tak terkendali membuat konflik itu semakin runcing sehingga terjadilah perang sesama anak bangsa. Rumah-rumah dibakar, kepala-kepala manusia dipenggal lalu diarak dan dipertontonkan ke khayalak ramai ibarat barang yang layak dipertontonkan. Inilah panggung kekerasan yang sangat mengerikan.
Menurut beberapa versi, insiden kerusuhan yang terjadi di 2001, disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak, yang kemudian dibalas dengan pembakaran oleh suku Dayak terhadap rumah-rumah di pemukiman Madura. Ada juga versi yang menyebutkan bahwa konflik di tahun 2001 itu berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama. Atau ada versi sendiri yang pembaca tahu selain dua hal ini?
Aksi kekerasan antar etnis yang memakan banyak korban yang dikenal dengan konflik Sampit itu, menurut banyak penelitian, sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1950. Tetapi, konflik itu masih bisa dikendalikan. Pada tahun 1996, konflik semakin runcing dan dianggap sebagai perang saudara terkejam di Indonesia.
Perang Dayak versus Madura ini adalah potret kelam yang menyita perhatian dunia. Etnis Dayak, yang menjadi penduduk mayoritas di Kalimantan, merasa terpinggirkan dengan banyaknya pendatang baru, termasuk keberadaan orang-orang Madura. Itulah sebabnya, ketika muncul sebuah persoalan, sekecil dan sesederhana apapun, mereka tetap ingin menunjukkan karakternya yang asli. Konon, Dayak memang memiliki karakter yang juga keras seperti orang Madura.
Karena tidak ada titik temu dalam menyikapi setiap persoalan, maka meledaklah perang etnis. Dayak membantai orang-orang Madura. Tidak peduli apakah masih anak-anak atau sudah dewasa. Setiap menjumpai etnis Madura, mereka membantainya sangat kejam. Potongan-potongan tubuh digantung di jalan-jalan, seakan mereka ingin memamerkan superioritas etnis.
Kegagalan Dinamika, Integrasi Sosial dan Merawat Perbedaan Silam?
Melihat tubuh-tubuh yang terpisah dengan kepala, tentu orang-orang Madura tersulut emosinya. Mereka tak pernah membiarkan etnis Dayak mencabik-cabik saudara mereka. Perang semakin sengit. Korban dari pihak Dayak juga banyak yang berjatuhan. Bahkan, orang-orang yang tinggal di Madura sendiri merasa tidak terima dan akan berangkat ke Kalimantan untuk menghabisi etnis Dayak.
Kasus Sampit membuat bangsa ini semakin akrab dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Saat tragedu Sampit meletus, selama beberapa hari, media massa internasional menyajikan “kekerasan etnis” di Sampit ini sebagai menu utama. Mereka menggeber tulisan dengan foto-foto yang sadis, bengis dan penuh luka manis. Harian New York Times membandingkannya dengan kekejaman revolusi Prancis. Bedanya, di Prancis, kepala-kepala manusia dipotong dengan kapak guillotine, sedangkan warga Madura dipenggal dengan parang.
Konflik etnis di tanah Kalimantan itu seperti menampar wajah Indonesia. Saat perang brekecamuk, aparat keamanan tak mampu berbuat banyak. Mereka seperti bingung, bisu, dan bahkan “terkesan” manyaksikan adegan kekerasan yang memakan banyak korban itu.
Fakta yang terjadi itu, terlepas dari siapa yang salah dan yang benar, atau apa pemicu sesungguhnya hingga meledak konflik berdarah, jelas menunjukkan betapa pergesekan antara etnis sangat berpotensi memicu perang saudara.
Bagi penulis, kasus ini merupakan wujud dari betapa rapuhnya konstruksi bangsa yang berbasis multikulturalisme di negeri ini, mungkin juga di negara lain. Sehingga, rasa kebersamaan di tengah keanekaragamannya etnis menjadi hilang. Yang tampak ke permukaan adalah hadirnya pentas kekerasan.
Di situ, pasca perang etnis Dayak-Madura, banyak orang yang berpikir ihwal pentingnya pendidikan berbasis multikulturalisme diterapkan. Hal ini penting kita sosialisasikan dalam kehidupan kita. Multikulturalisme sebagaimana dikutip dari Choirul Mahfud (2008), adalah sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya lain. Hal ini sangat penting kita semua pahami bersama. Sebab, bagaimanapun, bangsa Indonesia ditakdirkan memiliki keragaman bahasa, sosial, agama, budaya dan yang lainnya. Keragaman tersebut amat kondusif bagi munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan.
Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan zaman yang semakin kompleks, di mana egosentrime, etnosentrisme, dan chauvinisme yang pada gilirannya memunculkan klaim kebenaran (atau dalam kasus perang Dayak-Madura memunculkan klaim “superioritas etnis”) terus menggejala pada masing-masing individu. Dengan demikian, pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses di mana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi.
Dengan demikian, pendidikan berbasis multikulturalisme pada akhirnya akan memberikan sebuah pencerahan: yakni kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Kearifan itu muncul seiring dengan adanya keterbukaan untuk menjalani kehidupan bersama, dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang harus dipahami dan dijalani. Sebagaimana dikatakan oleh Musa Asy’ari (2004), bahwa keanekaragaman dalam realitas kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri.
Di tengah (masih) pentingnya pendidikan berbasis multikulturalisme, satu hal yang juga penting diperhatikan dari konflik Sampit,yakni peran aparat keamanan. Ya, peran TNI dan Polri memang layak dipertanyakan. Menurut Prof. Syarief Ibrahim Algadrie, sosiolog dari Universitas Tanjungpura sebagaimana dilansir dari gatra.com, salah satu penyebab insiden kekerasan di Sampit itu ialah kurang kompaknya TNI / Polri di lapangan. Bahkan muncul dugaan bahwa pengamanan yang tidak efektif karena adanya “rivalitas TNI dan Polri” kala itu.
Teruslah peringati, teruslah napak tilas, teruslah desak sampai dunia sadar bahwa hal ini memang perlu diselesaikan, terutama pihak keluarga yang ditinggalkan, keadilan yang ditegakkan dan kemanusiaan yang ditinggikan!!! Hidup Mahasiswa!! #Menolak Lupa #Jangan Amnesia!!!

Sangat penting bagiku untuk membentuk image sebagai seorang pemenang.
Untuk itu, aku harus menghajar seseorang – Richard Nixon

Komentar

Postingan Populer