#MenolakLupa!! #JanganAmnesia!!! Simpang Berdarah Aceh yang Terlupakan
“Menolak
Lupa! Tragedi Banjir Darah di Simpang KKA, Aceh”
Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan.
Duniaku bumi manusia dan persoalannya.
– Pramoedya
Ananta Toer.
Oleh Aris Rasyid Setiadi
Tragedi Banjir
Darah di Simpang KKA, Aceh
Mayat-mayat
bergeletakan persis seperti tumpukan sampah. Di sekitar PT KKA (Kertas Kraft
Aceh), darah tercecer di sepanjang jalan. Jerit tangis begitu banyak. Tragedi
kemanusiaan itu terjadi pada tanggal 3 Mei 1999. Tepat kurang dari dua tahun
saya lahir. Ya, di hari yang naas itu peluru tentara meletus menusuk siapa
saja. Puluhan korban mati tertembak. Sementara, ratusan lainnya mengalami luka
parah.
Bumi Aceh seperti
ditakdirkan menjadi pertumpahan darah. Bumi Aceh seperti menjadi tempat yang
bebas bagi aparat keamanan dalam melepaskan senjata secara membabi-buta.
Tragedi di Simpang PT KKA itu merekam aksi kekerasan aparat keamanan yang
menginjak-nginjak hati nati nurani kemanusiaan. Banyak korban yang jatuh dan
tentunya itu merupakan pelanggaran HAM yang berat. Karena memang sampai saat
ini masih menjadi sebatas cerita.
Seolah bungkam dan tidak serius
menindak pelaku yang sudah berkarat hati nuraninya itu.
Dalam
catatan koalisi NGO HAM Aceh, peristiwa mengerikan itu awalnya bermula saat
masyarakat Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk
memperingati 1 Muharram yang bertepatan dengan tanggal 30 April 1999. Namun,
oleh pihak keamanan acara itu disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka atau
yang biasa kita kenal GAM. Tiba-tiba muncul kabar yang tidak jelas bahwa
seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal 001/ Pulo Rungkom berpangkat
Sersan, bernama Adityawarman, hilang saat melakukan penyusupan di tengah
kegiatan ceramah itu.
Barangkali
selebaran isu itu hanyalah upaya aparat keamanan dalam memata-matai acara
tersebut, entahlah. Sebab sejak kabar hilangnya anggota TNI itu muncul, pasukan
Den Rudal 001/ Pulo Rungkom mulai melakukan operasi di kawasan Desa Cot Murong,
saat masyarakat sedang melakukan persiapan kenduri memberi makan untuk
anak-anak yatim. Operasi itu dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 05.00 WIB.
Kemudian,
sekitar pukul 11.00 WIB, datang pasukan Den Rudal ke tempat kenduri dan dengan
dalih menanyakan anggotanya yang hilang sehari sebelumnya dan mulai memukuli
warga setempat. Pada saat itulah, aparat melakukan tindak kekerasan. Sekitar 20
orang dianiaya oleh anggota TNI.
Puncak
peristiwa kekerasan itu terjadi pada tanggal 3 Mei, tepatnya pada pukul 09.00
WIB. Saat itu, untuk kesekian kalinya, 4 truk pasukan TNI datang memasuki Desa
Lancang Barat, desa tetangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul di dana,
sudah mempersenjatai diri mereka dengan kayu dan parang. Ini dilakukan karena
mereka khawatir terjadi aksi kekerasan yang akan dilakukan oleh TNI.
Ternyata
benar, kekhawatiran massa itu, setelah melewati negosiasi panjang, di mana
Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin, turut serta dalam negosiasi dengan pihak
TNI, aksi kekerasan yang dilakukan TNI terjadi. Saat itu, terjadi pelemparan
batu yang dilakukan oleh TNI kepada massa rakyat. TNI melempari massa dari atas
truk. Tentu saja kejadian itu memancing emosi massa. Terjadilah aksi kekerasan.
Suara tembakan berkali-kali terdengar dan jerit tangis saling bersautan di
Simpang PT KKA. Darah tercecer sepanjang jalan dan korban mulai berjatuhan.
Sampai
saat ini negara belum memenuhi kewajibannya untuk memenuhi, melindungi,
menghormati, dan memperjuangkan benar-benar HAM. Tragedi ini tidak menemui
titik kejelasan. Padahal, MoU Helsinki menyatakan dengan tegas bahwa Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR serta Pengadilan HAM di Aceh harus dibentuk
dengan tujuan agar negara bertanggung jawab terhadap korban dan keluarga korban
pelanggaran HAM.
Pasca
ditandatanganinya MoU Helsinki, Aceh memang merajut kedamaian secara
perlahan-lahan. Namun, dalam konteks kedamaian ini, masalah yang harus
dipecahkan bersama-sama ialah menghilangkan sumber-sumber ketegangan yang
berorientasi pada ide keadilan. Tragedi Simpang KKA seolah menjadi cerita masa
lalu, keluarga korban yang gugur dalam peristiwa itu seperti hanya dikabarkan
untuk bersabar dan terus bersabar. Inilah takdir yang harus mereka terima,
sementara negara belum mampu berbuat banyak dalam mengungkap dan mengusut
secara tuntas tentang siapa saja pelaku kekerasan itu.
Persis
seperti tragedi-tragedi di negeri ini, peristiwa di Simpang KKA seperti
membenarkan keyakinan rakyat bahwa hukum tidak akan pernah mampu berbuat banyak
dalam menindak pelaku kekerasan, kecuali pelaku kekerasan itu melibatkan
orang-orang yang tak berdaya. Sementara, dalam kasus-kasus kemanusiaan yang
melibatkan oknum aparat keamanan, negara seolah tak bisa berbuat banyak.
Atas
dasar itulah komunitas-komunitas yang peduli pada kemanusiaan membuat sebuah
pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah. Isi pernyataan itu berbunyi
sebagai berikut.
1. Pemerintah Aceh dan pusat harus mengambil
langkah-langkah konkret, misalnya dengan membentuk tim-tim pencari fakta
terhadap kasus masa lalu di Aceh untuk adanya sebuah pendokumentasian kasus
secara menyeluruh di Aceh, pemerintah Aceh segera membentuk Qanum KKR Aceh.
2. Pemerintahan di tingkat nasional harus segera
mengesahkan undang-undang KKR Nasional yang sudah di cabut.
3. Pembentukan pengadilan HAM untuk Aceh menjadi bagian
dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh, mekanisme pengadilan HAM, dan KR
saling berhubungan dalam proses pemberian rasa keadilan bagi korban.
Desakan
kepada pemerintah itu tentu sajja adalah sebuah harapan bersama, yakni suatu
harapan tegaknya keadilan. Pelanggaran HAM memang harus ditindak dengan serius,
siapapun pelakunya. Dalam konteks ini, negara harus tegas, tidak tebang pilih.
Jika memang oknum bersalah, harus diusut sampai tuntas. Jangan sampai muncul
dugaan bahwa negara terkesan melindungi aparat keamanan yang terbukti mencakar
nilai-nilai kemanusiaan.
“Demokrasi berarti pemerintahan dengan musyawarah.
Tapi itu benar-benar efektif jika
kita bisa membuat orang-orang berhenti bicara.”
-
Clement Atlee
Teruslah
peringati, teruslah napak tilas, teruslah desak sampai dunia sadar bahwa hal
ini memang perlu diselesaikan, terutama pihak keluarga yang ditinggalkan,
keadilan yang ditegakkan dan kemanusiaan yang ditinggikan!!! Hidup Mahasiswa!!
#Menolak Lupa #Jangan Amnesia!!!
“Pesulap dan politikus punya satu
persamaan yaitu mereka harus pandai mengalihkan perhatian publik dari apa yang
sebenarnya sedang mereka lakukan.”
-
Ben Okri
Komentar
Posting Komentar