#MenolakLupa!! #JanganAmnesia!!! 16 Tahun Wamena, Negara ke Mana?
“Menolak
Lupa! 16 Tahun Peristiwa Berdarah Wamena, Negara ke Mana?”
Dengan terus melakukan
perkara-perkara kecil dengan benar, Anda tidak akan kehilangan arah secara
moral ataupun etis.
Oleh Aris Rasyid Setiadi
Dikutip
dari JawaPos.com terkait demo yang berakhir mengenaskan tanggal 24
September 2019 lalu, puluhan korban meninggal akibat kerusuhan yang terjadi di
Wamena, Papua. Tercatat, ada 26 warga tewas dalam peristiwa tersebut, 22
diantaranya merupakan warga pendatang. Direktur Eksekutif Amnesty International
Indonesia, Usman Hamid menyayangkan jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa
kerusuhan tersebut. Usman menginginkan agar pemerintah dapat bertanggung jawab
terkait jatuhnya puluhan korban jiwa dalam kerusuhan di Papua.
“Mereka
yang bertanggung jawab atas berbagai bentuk pelanggaran HAM, yang juga
melibatkan pelanggaran hukum pidana harus dimintai pertanggungjawaban dalam
pengadilan yang adil, dan pemerintah harus memastikan bahwa keluarga korban
menerima reparasi yang memadai,” kata Usman kepada JawaPos.com, Selasa
(24/9).
Apakah
kasus seperti di atas merupakan yang pertama kalinya? Ternyata perlu kita
ketahui bersama sejak dahulu sudah ada beberapa kasus yang serupa terjadi di
bumi cendrawasih, salah satunya yang terjadi pada tahun 2003 ini..
Mengungkap Peristiwa
Kelam Berdarah 4 April 2003 di Wamena
Peristiwa Wamena
mengundang tanda tanya yang sangat besar sekaligus membuat kita prihatin.
Penyiksaan dan perampasan yang dilakukan oleh TNI-Polri benar-benar tidak bisa
dibenarkan. Aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan di Wamena pada tanggal 4
April 2003 itu merupakan pelanggaran HAM yang harus dikutuk.
Kejadian yang memilukan
itu berawal dari adanya pembobolan gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena yang
dilakukan oleh sekelompok massa tak dikenal. Dalam kejadian ini, tercatat 2
anggota kodim yang tewas, yaitu lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana
(Penjaga gudang senjata). Kabarnya, kelompok massa tak dikenal itu membawa lari
sejumlah senjata dan amunisi. Atas dasar itulah, pengejaran terhadap pelaku
akhirnya dilakukan oleh aparatur negara. Para aparat melakukan penyisiran di
sepanjang daerah, seperti di Desa Wamena, Desa Sinakma, Bilume-Assologaima,
Woma, Kampung Honai lama, Napua, Walaik, Moragame-Pyamid, Ibele, Ilekma,
Kwiyawage-Tiom, dan beberapa desa lainnya yang berjumlah 25 desa.
Dalam penyisiran itu,
aparat keamanan melakukan sejumlah penangkapan dan penyiksaan. Bahkan,
perampasan secara paksa yang menimbulkan korban jiwa dan pengungsian penduduk
juga dilakukan. Sungguh mengenaskan. Ketegangan tentu saja terjadi. Dengan
bekal senjata, aparat dengan mudah menggelontorkan peluru kepada warga yang
coba melawan.
Tragedi berdarah di
Wamena ini merupakan yang kesekian kalinya. Banyak konflik di Papua banyak yang
menyebut karena kuatnya pengaruh militer. Kuatnya militer dalam pembangunan
Papua ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Rakyat dipaksa untuk patuh
dengan segala instruksi dan disiplin militer yang diterapkan dalam setiap
rencana pembangunan Papua.
Sebagiamana kasus-kasus
pembantaian dan penembakan terhadap rakyat sipil, dalam kasus ini tak ada
langkah hukum oleh pemerintah kecuali “berjanji” akan menuntaskan siapa saja
yang terlibat dalam pelanggaran HAM di sana.
Komnas HAM mengeluarkan
sebuah laporan terkait kasus Wamena itu. Di tengah penegakan hukum yang
berjalan di tempat, pada bulan Juli 2004, Komnas melakukan penyelidikan atas
dugaan adanya kejahatan terhadap Kemanusiaan. Hasilnya, ditemukan 9-38 orang
terbunuh. Selain itu, aparat keamanan melakukan pemindahan secara paksa
terhadap 25 penduduk kampung di Wamena. Sehingga, akibat pemindahan paksa itu,
tercatat 42 orang meninggal dunia karena kelaparan, serta 15 orang korban
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.
Kenyataan itu jelas
merupakan sebuah pelanggaran berat, semacam “penyembelihan” terhadap hak-hak
asasi manusia. Tragedi di bulan April itu adalah potret lemahnya negara. Dan
sejarah mengatakan berulang kali negeri ini sedang tidak baik-baik saja, dulu,
kini dan mungkin nanti?
Kritik bahwa negara
tidak mampu berbuat banyak terlihat dari berlarut-larut proses hukum yang
terjadi di Wamena itu. Sehingga, muncul sebuah asumsi bahwa negara cenderung “melindungi”
aparatnya dari pada warganya. Tragedi berdarah di Wamena adalah salah satu bukti bagaimana aparat
yang terlibat dalam kasus itu tidak ditindak dengan tegas.
Barangkali, seperti
cerita masa lalu yang menyebutkan pemerintah selalu berjanji akan “mengusut
tuntas para pelaku pelanggaran HAM”. Ya, mungkin lama akan membosankan, karena
proses hukum yang berjalan belum menemui titik kejelasan.
Di tengah ambiguisitas
pemerintah dan ketidakjelasan proses hukum itulah, para warga (korban dan
keluarganya) merasa hak-hak mereka ditindas oleh pemerintah. Mereka merasa
telah dipasung karena keadilan tidak kunjung diberikan.
Itulah sebabnya, pada
tanggal 4 April 2010, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP)
mengeluarkan sebuah press release yang berisi sebagai berikut.
1.
Kejaksaan agung dan Komnas HAM agar
segera melakukan koordinasi yang baik untuk mendorong kemajuan yang berarti
bagi proses hukum kasus Wamena dan Wasior dan hentikan sandiwara
lempar-melempar berkas kasus sebagai langkah memperokokoh lingkaran impunitas.
2.
Pemerintah Daerah Provinsi Papua, DPRP,
Koomnas HAM Daerah Papua, dan Majelis Rakyat Papua agar segera mengambil
langkah nyata untuk mendorong kasus ini ke pengadilan HAM dan mengevaluasi
seluruh kejahatan negara di Tanah Papua.
3.
Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan
gubernur untuk segera membuat perda dan perdasi tentang hak-hak reparasi dan
perlindungan bagi korban kejahatan HAM di tanah Papua.
4.
Segera membentuk pengadilan HAM di
Papua.
Press Release ini
merupakan sebuah sikap bersama dalam upaya menagih keadilan. Jika pemerintah “tutup
mata” dengan tuntutan tersebut, maka itu berarti telah ikut serta dalam aksi
kekerasan dan bahkan membenarkan kekerasan itu sendiri.
Meski hampir 16 tahun
berlalu, pemerintah belum juga berhasil mengungkap kasus kekerasan dan
pelanggaran HAM di Wamena kala itu. Akibatnya, keadilan hanya sebatas kata dan
belum terwujudkan.
Komentar
Posting Komentar