#MenolakLupa!! #JanganAmnesia!!! Cerita Kelam Gedung KNPI Lhokseumawe




“Menolak Lupa! Tragedi Gedung KNPI di Lhokseumawe”

Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial – Goenawan Mohammad Sastrawan Indonesia.
Oleh Aris Rasyid Setiadi

Bagi warga Aceh di Lhokseumawe tanggal 9 Januari 1999 tidak pernah akan hilang sejarah kelam dari ingatan. Di hari kelabu itu, telah terjadi tragedi kemanusiaan yang menyayat-nyayat hati manusia, seolah-olah manusia seperti dibantai dengan kejam.
Penangkapan dan penyiksaan, itulah yang terjadi di Lhokseumawe. Sebuah peristiwa yang kelak dikenal sebagai tragedi gedung KNPI. Panggung kekerasan seolah tidak bisa bisa dihindarkan. Lhokseumawe menjelma seperti kota penuh darah. Peristiwa kelam itu bermula dari aparat keamanan menggerebek sejumlah rumah di Desa Pusong dan Kandang Lhokseumawe pada 3 Januari 1999. Penggerebekan itu menyebabkan tujuh warga sipil tewas dan 23 lainnya luka-luka. Mereka dibawa ke gedung KNPI Lhokseumawe.
Kemudian, pada tanggal 9 Januari 1999, aparat kembali menyisir perkampungan dan menangkap 40 warga. Aparat membawa mereka ke gedung KNPI. Di situlah penyiksaan terjadi. Tercatat lima orang tewas, 23 luka berat, dan 21 luka ringan.
Tentu saja, kisah tragis yang mencoreng nilai-nilai kemanusiaan itu tidak akan pernah hilang dari ingatan. Aparat negara telah bertindak sewenang-wenang sehingga banyak korban yang jatuh. Di tengah tidak jelasnya penegakan hukum terhadap pelanggaran berat HAM dalam tragedi KNPI itu, rakyat Aceh berkali-kali menuntut pemerintah bertindak serius. Sampai saat ini sebagaimana kita ketahui, tragedi yang menyayat hati itu seolah dibiarkan dan dilupakan oleh pemerintah. Keluarga para korban tentu berharap adanya keadilan. Sebab, pelanggaran HAM yang terjadi di sana tergolong pelanggaran berat.
Setiap kali peringatan mengenang tragedi Lhokseumawe, rakyat Aceh menuntut pemerintah setempat memberikan perhatian khusus untuk korban HAM. Sebab, kejadian yang memilukan itu merupakan wujud tanggung jawab negara terhadap warga yang menjadi korban HAM.
Pada tanggal 9 Januari 2019, Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU) dan masyarakat Pusong menyampaikan sebuah “petisi bersama” sebagai wujud keprihatinan dan pentingnya keadilan ditegakkan oleh pemerintah.
Dalam petisi itu, sebagaimana dilansir situs waaceh.org, disebutkan antara lain sebagai berikut.
Dalam peringatan yang ke-11 tahun tragedi gedung KNPI, kami mengingatkan kepada:
1.      Pemerintah
a.       Pemerintah harus bisa menunjukkan rasa hormat terhadap hak asasi manusia.
b.      Kepada pemerintahan dan lembaga-lembaga pemerintah untuk segera membentuk Pengadilan HAM di Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.
c.       Kepada pemerintahan pusat dan pemerintahan Aceh untuk segera membentuk pengadilan hak asasi manusia (HAM), dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh.
d.      Kepada DPRK kota Lhokseumawe dan DPRA untuk terus mendorong agar segera terbentuknya pengadilan HAM dan KKR Aceh.
e.       Kepada DPRK kota Lhokseumawe untuk mengalokasikan dana kesehatan secara permanen untuk korban, dan keluarga korban (anak dan istri korban) serta tunjangan dana pendidikan dari SD sampai Perguruan Tinggi.
f.       Kepada walikota dan DPRK kota Lhokseumawe untuk membuat monumen bersejarah tentang tragedi gedung KNPI.
g.      Mendesak kepolisian dan kejaksaan tinggi Aceh untuk mengusut indikasi pemotongan dana integrasi terhadap korban konflik di seluruh Aceh.

2.      Pekerja Kemanusiaan
a.       Kepada pekerja kemanusiaan yang ada di Aceh dan di tingkat nasional untuk terus mendorong supaya terpenuhinya hak-hak korban pelanggaran HAM yang ada di Aceh.
b.      Untuk dapat mengambil pembelajaran dari gedung KNPI dan kasus Tgk. Bantaqiah yang sudah menjalani proses peradilan tetapi hak korban lainnya belum terpenuhi.
c.       Kepada pekerja kemanusiaan yang ada di Aceh dan di tingkat nasional untuk mengawasi dan melakukan investigasi terhadap dana reintegrasi korban konflik di seluruh Aceh dan berbagai bantuan lainnya agar masyarakat korban secara penuh mendapatkan haknya.
d.      Menggalang barisan korban konflik untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum setiap pemotongan dan pelanggaran dalam penyaluran dana reintegrasi korban konflik di seluruh Aceh.
3.      Komunitas dan para Korban
Terus berjuang secara mandiri untuk pengungkapan kasus-kasus masa lalu dan bersolidaritas dengan korban-korban pelanggaran HAM lainnya di Aceh, Indonesia dan negara lainnya.
Bagaimanapun petisi itu selain bermakna sebagai desakan, juga sebagai bentuk kritikan kepada pemerintah bahwa tragedi kemanusiaan di Lhokseumawe dan juga tragedi lainnya yang mencabik-cabik nilai-nilai kemanusiaan tidak benar-benar menjadi agenda prioritas. Bahkan, pemerintah seolah ‘melindungi’ aparat keamanan yang tidak lain memang menjadi perpanjangan tangan negara.
Tentu saja, menjadi sebuah kemunduran dalam konteks tegaknya keadilan jika pemerintah selalu abai dengan sebuah peristiwa yang selalu melibatkan aparat keamanan (TNI-Polri) sebagai otak pembantaian, penembakan atau pembunuhan terhadap rakyat sipil.
Berkali-kali negeri ini selalu dihadapkan dengan kenyataan dilematis itu. Barangkali, kita berhak menuduh negara sebagai ‘agen kekerasan’ sebab pemerintah selalu tidak berdaya menindak siapa pun yang terlibat termasuk pelanggaran HAM.
Teruslah peringati, teruslah napak tilas, teruslah desak sampai dunia sadar bahwa hal ini memang perlu diselesaikan, terutama pihak keluarga yang ditinggalkan, keadilan yang ditegakkan dan kemanusiaan yang ditinggikan!!! Hidup Mahasiswa!! #Menolak Lupa #Jangan Amnesia!!!

Bukan polusi yang menjadi masalah lingkungan.

Melainkan udara dan air yang tidak sehat – Al Gore

Komentar

Postingan Populer