Kanal Progresif: Benarkah Saya Mahasiswa?

Omnibus Law Di Tengah Pandemi, (Masih) Diam Kaum Cerdikiawan?
oleh Aris Rasyid Setiadi

ilustrasi: pijarnews.com

Satu tokoh teman tongkrongan pikiran saya, inisialnya sebut saja 'K' merasa sangat prihatin dengan meningkatnya ketidakbaikan di Indonesia sekarang ini. Hal itu disampaikan dalam diskusi santai senja itu. Dia menyayangkan pemerintah tidak melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk meredam Pandemi Covid-19 ini. Terlebih dengan buru-burunya keinginan untuk disahkannya RUU Omnibus Law. “Suara kalangan para Cerdikiawan tidak terdengar, padahal mereka mayoritas!!” ucap K dengan nada keras prihatin.
Sementara penulis berpendapat dengan mengutip perkataan Romo Benny, semakin sedikitnya tokoh-tokoh yang berani menyuarakan keberpihakan buruh menjadi salah satu penyebabnya. “Sekarang semakin jarang tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Cak Nur, Romo Mangun atau pendeta Eka Dharma Putra yang memahami agama secara utuh dan berani meluruskan pemahaman yang salah,” kata nya. Itu kalau dalam pluralitas agama. Kalau masalah Omnibus Law kaum Cerdikiawan bagaimana? Terutama RUU Cipta Lapangan Kerja yang sampai kini tetap menjadi kontroversial di masyarakat. Dimana intinya ialah mementingkan kepentingan investor di atas kebutuhan pekerja!!
Seperti yang diketahui bahwa RUU Cipta Lapangan Kerja ini mengamandemen 79 undang-undang dan 1244 pasal yang menyangkut 11 kluster yakni Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, dan Investasi dan Proyek Pemerintah dan Kawasan Ekonomi.
Saat ini kita menghadapi persoalan teks-teks naskah kondisi bangsa yang tidak lagi dilihat secara konteks detailnya. Teks-teks naskah dipahami hanya secara literal dan tekstual. Sehingga kecenderungannya menjadi alat pembenaran untuk kekuasaan. Itu diakibatkan pemahaman atau keinginan yang tidak utuh dan menjadi kepuasan eksistensi. Termasuk dengan adanya Omnibus Law dan berbagai masalah lainnya yang sudah jelas-jelas sangat merugikan hak dan martabat manusia, sebut saja buruh, pekerja dan yang berada dalam sistem tersebut.
Sebab berikutnya adalah kapitalisme yang membuat hidup ini berorientasi serba materi. Kapitalisme memang menjadi alasan lahirnya ekstremisme, dan peraturan perundang-undangan seringkali menjadi referensi untuk orang melawan ketidakadilan dengan tawaran bungkus pertumbuhan ekonomi. Ya memang benar!! Pertumbuhan ekonomi untuk saku para pengusaha dan penguasa!!
Sekarang ini kita sudah mulai melihat monotheism dikalahkan oleh money theism. Kalau punya uang, dia hampir bisa meraih apapun yang diinginkannya. Oleh karena itu, ketidakadilan secara ekonomi juga menjadi alasan kelompok tertentu untuk menjadi ekstrem di dalam kekuasaan. Karena kekuasaan dalam hal ini dengan undang-undang bisa menjadi legitimasi untuk melegalkan hal tersebut.
Pada prinsipnya dari 11 kluster Omnibus Law, ada 2 prinsip utama yaitu kemudahan investasi dan kemudahan perizinan. Dilihat dari kontennya banyak sekali dampak jika disahkan, misal dampak dalam sektor agraria semakin tergusur yang menjadi dominan menjadi wilayah garapan masyarakat, selanjutnya sektor ketenagakerjaan dengan contoh upah yang sangat kecil dengan eksploitasi buruh seperti cara upah minimum dihilangkan, hak pensiunan, hak pesangon, izin cuti saat hamil, izin menstruasi dan hak-hak buruh lainnya. Pada dasarnya Indonesia merupakan negara hukum dimana ketentuan tersebut dipertegas pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang mana seluruh penyelenggaraan Pemerintahan didasarkan pada kedaulatan hukum dengan demikian sudah sepatutnya Indonesia menghormati dan menjalankan kekuasaan Pemerintahnya berdasarkan sistem hukum yang berlaku dan berdaulat, namun pada nyatanya Perumusan RUU Cipta Kerja justru tidak mematuhi prosedur hukum yang berdaulat dan berlaku. 
Terakhir justru di tengah Pandemi, pemerintah beserta DPR tetap ngotot untuk memfokuskan pembahasan Omnibus Law dikala masyarakat sedang berjuang dengan segala keterbatasan dan pengorbanan yang ada dan inilah yang perlu kita kritisi dengan keadaan realitas sosial.
Bukan tanpa alasan penulis menulis ini, hanya saja sedikit merasa gemas akan sikap pemerintah dalam hal ini yang terhormat DPR-RI yang ada, "kok gitu ya ". pikirku. Mudahnya tak simpulkan dalam perkataan Najwa Shihab seperti ini "Hal yang diperlihatkan (dilakukan) oleh pemerintah saat ini adalah cerminan bentuk prioritas tindakan, namun ditengah pandemi yang sangat membutuhkan perhatian lebih, namun ternyata pemerintah masih tetap ingin lanjut untuk membahas RUU Ciptaker ini ?" Video selengkapnya klik (Kepada Puan dan Tuan Anggota DPR Yang Terhormat I Catatan Najwa)

Melawan Sebuah Kemunduran?
Sudah banyak sekali di tengah pandemi ini pamflet-pamflet ajakan diskusi online yang bertebaran lewat media sosial, baik sekadari di WAG, via Zoom atau Google Meet, kita sebut saja mulai dari tingkat Pimpinan Pusat sampai Komisariat, mulai dari Sabang sampai Merauke, mulai dari yang muda sampai yang tua, kini sudah selayaknya kita mempunyai tambahan bekal untuk tampil membela atau menyampaikan keadilan sosial di muka-muka umum. Bahkan penulis dengan teman sesama kader IMM setelah dilihat ternyata sama-sama telah satu grup mengikuti lebih dari 34 grup diskusi IMM se-Indonesia sejauh ini, sungguh luar biasa bukan? "eman-eman, minimal ya dapet materi dan notula syukur-syukur, selebihnya memperluas wawasan dan mempertegas sikap. pikirku". Keadaan seperti ini manfaatkan dengan sebaik mungkin atas kekurangan yang ada sebagai bentuk penerapan akan kekritisan kita sebagai mahasiswa dalam memandang sistem kebangsaan ini, baik yang bersifat legislatif, eksekutif dan lainnya dalam roda pemerintahan tentunya agar sesuai koridornya. (mumpung masih idealis.haha)
Selanjutnya untuk melawan semacam bentuk kemunduran akan bangsa ini cara lainnya adalah dengan membumikan sekaligus menyadarkan lagi akan identitas bangsa, bangsa Indonesia, bagaimana dasar dan tujuan awal bangsa Indonesia ini berdiri. Bagaimana identitas atau landasan bangsa ini mampu menjadi gugus insting yang mempengaruhi cara berpikir, bernalar, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam kepentingan kebangsaan. Kepentingan dari, untuk dan oleh semua elemen bangsa, terutama masyarakat yang menjadi tumpuan gerakan peradaban sebuah bangsa. Karena di masyarakatlah dunia melihat kemampuan akan kesehatan dan kemajuan sebuah negara dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Setelahnya Pemerintah, dalam hal ini mempunyai peran dan tugas yang signifikan karena mempunyai sumberdaya yang diperlukan. Namun apakah dirasa sudah cukup? Tidak. Karena seperti yang kita tahu dalam jajaran pemerintah ada saja yang menggunakan wewenangnya untuk kepentingan oligarki pribadi atau kelompoknya. eeh
Saatnya kelompok mayoritas yang sangat Cerdikiawan ini harus lebih bicara. Karena sebenarnya media massa kita mulai pro kepada kelompok cerdikiawan — moderat. Tugasnya kemampuan mengisi media-media ini yang harus diperkuat secara kolektif tanpa memandang latar belakang yang ada. Kelompok cerdikiawan - cerdikiawan juga patutnya memperbanyak mengangkat isu-isu sentral lain untuk digoreng bersama agar menjadi hangat dan terangkat sehingga elemen masyarakat ikut tergerak dan bergerak secara massif, terutama gerakan buruh, organisasi, LSM-LSM, atau asosiasi segala macam masyarakat karena tadi media massa sudah mulai bersama kita dan selalu berharaplah keadilan benar-benar akan ditegakkan keadilan realitas-sosial bangsa ini !
Terakhir kalau bicara moral sepertinya penulis sudah mulai bosan, dirasa semua sudah paham dan sadar akan bagaimana dan mengapa dilahirkannya moral ke dunia ini.
Sebagai bentuk refleksi diri, mari dengarkan lagu berjudul Pusat Kota dari Disnemesia Band, band IMM yang berasal dari Fakultas Hukum UMY : https://youtu.be/CJvCdH3uHig

Jadi, benarkah saya mahasantri, eeh maksudnya mahasiswa ?

Komentar

Postingan Populer