"Diary Senja & Hujan"

"Diary Senja & Hujan"

“Tiada yang menafikkan bahwa manusia suka bercerita dengan senja–hujan yang mampu mendamaikan sisi kehidupan"

the story has continued...

Satu hukum alam pasti yakni alur cerita kehidupan kita datang dan pergi silih berganti, berganti hari demi hari termasuk kala itu dan tentangmu. Sebuah cerita berlanjut dengan prolog sub bab sederhana dimana..

terlukiskan dengan sebuah hari dimana mampu mendamaikan perasaan kecewa atas keputusan satu pihakmu (membuatku pulang). Menapaki sisa-sisa kilometer jalan pulang dengan kembali ditemanimu, seolah rasa dan kata-kata dalam obrolan kita belum sepenuhnya terceritakan.

Sesampainya di sebuah rumah sederhana. Segera kuputuskan untuk menyegarkan tubuh dan setelahnya menunaikan kewajiban. Sebelum maghrib datang sebenarnya aku ingin sekali membuat kopi tapi “aah nanti malam saja sembari rutin menyelesaikan tugas skripsi” pikirku

Biasanya di kala santai seperti ini, kugunakan kembali untuk membaca buku, entah melanjutkan bacaan buku yang belum terselesaikan atau sekedar ingin membaca yang lainnya dan telah kuputuskan untuk melanjutkan kembali membaca buku dasar dari pandangan Marxisme itu, namun entah kenapa aku sama sekali tak mampu berfikir jernih untuk mencerna halaman per halaman. 

“Apakah ketidakdamaian kembali hadir ??” ego datang dan mempertanyakannya

“Tidak, kau hanya perlu memaknai kembali atas hari indahmu ini” sanggah sang diri

Aah hampir setiap hari mereka berdialog mesra seperti ini, dialektika yang begitu romantis. Mungkin bisa mengalahkan nabi adam & hawa maupun kisah cinta romeo & juliet. Ya begitulah kadang aku menjadi begitu romantis terhadap diriku sendiri melebihi siapapun. Contohnya saja seperti kritis mempertanyakan ulang keadaan demi keamanan dan kenyamanan diri di waktu depan. Mereka ‘dua’ hal ini saling mengoceh satu sama lain, wes pokoke angel wes angel kalau mengaruskan damai karena berbeda karakter. Yang satu karakternya riweuh, suka cemas dan kritis terhadap pikiran sementara yang satu sebaliknya yaitu kalem, santai atau ‘sans’ dan biasanya dewasa dalam berfikir. Waahh pokoke komplit dah yang namanya manusia ini. Mereka saling menyempurnakan kalau kita mampu meramu dan seringkali akan membingungkan kalau tak mampu mendamaikan, menghasilkan gejolak-gejolak yang luar biasa dalam pilihan tindakan yang akan kita lakukan.

“Bukankah aku menjagamu dari waktu malam agar kau tak pulang kemalaman, ris?” ego bertanya

“Yaa benar juga apa katamu, dengan cerewetmu itu yang melebihi jet pesawat kau mampu menyadarkanku tuk tidak lebih lama singgah dan menghargai waktu” balasku

“Lalu bagaimana caramu memaknai atas hari yang indah ini jika dirimu saja tidak sepenuhnya berdamai denganku? Yang merupakan ‘malaikat’ bagimu?”

“Bukankah aku ditugaskan Tuhan untuk menjadi teman baik selama hidupmu? Membantumu berkembang dan melakukan hal-hal dengan pertimbangan yang baik?”

“Atau itu justru bukan kebahagiaanmu? Dengan kehadiranku dan sore tadi sebenarnya sebatas dibumbui dengan sedikit rasa halu tinggimu?”

“Bukankah aku menyelamatkanmu kembali? Dari duduk yang lama dan perasaan nyaman atau mampu menyadarkan bahwa kau bisa mengatakan ‘mungkin kita bisa melanjutkan di lain hari untuk bertemu dan ngopi kembali’ ?” sang ego menguatkan

Kututup pembicaraan ego dan diri kali ini dengan diam beberapa saat, sebisa mungkin kucoba untuk berdamai kembali dengan perasaan yang begitu absurd dikala sang senja juga pergi tenggelam. Hanya adzan maghrib saja kala itu yang menjadikanku harus bangkit dan persiapan berangkat ke masjid seperti biasa. Kali ini sepi, aku benar-benar sendiri.

“Mungkin kutanyakan kepada Tuhan nanti” kataku

Komentar

Postingan Populer