"Diary Senja & Hujan"

Diary Senja & Hujan"
“Tiada yang menafikkan bahwa manusia suka bercerita dengan senja–hujan yang mampu mendamaikan sisi kehidupan"


Setelah keluh kesah di minggu lalu yang diluar dugaanku, pun minggu ini datang dengan rasa yang hampir sama. Sebuah rasa yang ‘nanggung’ untuk bercengkerama lebih lama dengan salah satu sahabat perjuanganku, dimana kami mencoba menghabiskan topik-topik obrolan yang seringkali tak pernah terselesaikan. Namun apadaya sang senjaku kala itu tak mengizinkannya sama sekali untuk sekedar duduk menghangatkan kembali kursi dan menghabiskan sisa-sisa makanan dan obrolan. Baiklah tak apa, aku mencoba memahami mungkin sudah saatnya untuk pulang. Mungkin ada yang cemburu. Mungkin.

Dengan menaiki motor ayahku aku mulai berjalan pulang, kulihat dia (senja) mulai menampakkan warna indahnya. Walau tak lebih dari 5-10 menit namun cukup untuk mendamaikan ego dan mulai menjawab atas pertanyaanku di atas. Kuhadirkan kata terima kasih, ini waktu yang sangat kutunggu beberapa hari belakangan atasmu. Bertemu dan saling memandang satu sama lain diluar rumah masing-masing.

Masih dalam perjalanan pulang, di perbatasan dua wilayah dirimu nampak pergi berlawanan arah denganku, dengan sedikit melipat kerutan dahi dan wajah yang kembali datar tak sadar aku sedikit membicarakanmu dengan sepenuh ego anak kecil. Yang begitu polos dan lucu, mengharap sama sekali kehadiranmu sebelumnya takkan pernah ada. Hh kita sama-sama lucu memang.

Tak terasa pula hampir sampai di persimpangan, kuputuskan untuk belok kanan agar melihat hamparan sawah dan sungai yang akan lebih indah saat sore seperti ini. Dan tahukah? lantas sang hujan menyambut datang diawali dengan gerimis-gerimis malu, melukis rintik-rintik syahdu yang mengisyaratkan penuh rindu. Mungkin kali ini tugasnya mengirimkan rasa rindu-rindu manusia seantero bumi, entah untuk manusia di tempat lain atau untuk Tuhannya di atas sana. Saat itu juga aku berimajinasi bahwa seolah-olah hujan yang sedang terjadi ibarat pesawat mainan anak-anak yang dengan ramainya kesana-kemari untuk mengirimkan pesan-kesan rindunya. Dengan sangat antusias sang pembuat rindu menerbangkan sajak-sajak candu yang sudah lama tak bertemu, atau mungkin juga sekedar ingin membalas pesan rindu dengan kalimat basa-basi “Bagaimana kabarmu?”

Sangat indah dan mengasyikkan

Kini akan kuceritakan hal serupa namun berbeda karsa. Disaat aku pulang dari tempat ngopi di sebuah angkringan perempatan kota itu? Tepat di pergantian hari aku melihat langit malam yang sesak penuh bintang dan setelahnya berjalan pulang dengan begitu pelan. Aah andai saja kau juga ikut melihatnya disampingku, dimana menyenderkan pipimu lantas melihatnya dan bisa kupastikan akan membuatmu candu tak mau pulang. Sebuah karya Tuhan yang tak terduakan. Sangat indah, sangat-sangat indah. Sama sepertimu.

Damai sekali hidup ini, damai sekali pikiranku. Ternyata bahagia seringkali sesederhana ini. Belajar dari senja tentang coretan jingga, belajar dari hujan tentang sajak-sajak rindu maupun semalam aku belajar hal baru bahwa menyoal malam tak terlepaskan oleh indahnya lukisan bintang-bintang.

Sesampainya di rumah, kubuka e-note dan jari-jemariku melahirkan untaian kata-kata :

Aku tahu menyoal bagaimana cara memaknai kehidupan dengan amat sederhana

Kuberi tahu. .

Kamu hanya perlu melihat wajah penuh bintang diatas saat berganti hari, ditemani angin dan kicauan alam dari titik angkringan tuk menghitung kilometer jalan pulang

Hidup, rasa damai, atau bahagia manusia seringkali sesederhana ini, nanti pulanglah dengan pelan. Lantas kuberi tahu satu hal bahwa harga secangkir kopi di angkringan tak semahal akal dari Tuhanmu itu.

Dariku untukmu, bahagialah dengan sederhana.

Banjarnegara, 13 November 2020

Komentar

Postingan Populer