#Menolak Lupa!! #Jangan Amnesia!!! Tragedi Kasus Terbunuhnya Munir 7 September 2004
“Menolak
Lupa! Tragedi Kasus Terbunuhnya Munir”
Ada yang berubah, ada yang
bertahan, karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti, kepercayaan harus
diperjuangkan – Chairil Anwar
Oleh
Aris Rasyid Setiadi
Sumber Foto: konfrontasi.com |
“Mereka merebut kuasa, mereka menenteng senjata, mereka
menembaki rakyat, tetapi kemudian bersembunyi dibalik ketiak kekuasaan. Mereka
gagal untuk gagah, mereka gagah hanya di baju, tetapi di dalam tubuh mereka ada
suatu kehinaan.” Demikian kata-kata aktivis kemanusiaan, Munir ketika berdemo
di depan kejaksaan agung atas putusan bebas kasus Tanjung Priok.
Munir dikenal sebagai aktivis
kemanusiaan yang memperjuangkan keadilan. Ia berdiri menentang
kesewenang-wenangan, pembela rakyat kecil, dan pejuang kemanusiaan yang tak
kenal lelah. Pria asal Malang yang bernama lengkap Munir Said Thalib itu
namanya semakin dikenal publik setelah menjabat Dewan Kontras, di mana ia
membela para aktivis yang hilang (diculik).
Tetapi, kini kita tidak bisa melihat lagi Munir
dengan gagah memperjuangkan keadilan, membela hak-hak rakyat kecil yang
dipasung. Munir telah dibunuh 15 tahun silam. Siapa pembunuhnya? Adakah
permainan politik di balik tewasnya Munir?
Di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974 yang
ditumpangi, Munir seolah berpamitan kepada kita semua. Di atas pesawat itu, ia
tewas. Kepergiannya menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pasca-sarjana
ternyata menjadi “kepergiannya” yang terakhir. Ya, Munir yang aktivis pro
kemanusiaan itu telah tiada dan kisahnya terajut dalam banyak buku.
Pembunuhnya terhadap Munir termasuk pembunuhan yang
canggih dan termasuk yang terbesar dalam sejarah republik ini. Kategori
“canggih” itu ialah kesulitan dalam penentuan tempat kejadian perkara (TKP).
Tanggal 11 November 2004, keluarganya di Malang mendapatkan informasi dari
media Belanda bahwa hasil autopsi yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda
(NFI) membuktikan bahwa ia meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis
yang fatal.
Muhammad Taufiq SH., MH, dalam tulisannya yang
bertajuk “Misteri Pembunuhan Munir” (Suara Merdeka, 07/05/2007) menyebutkan
bahwa dalam kasus pembunuhan Munir terdapat beberapa misteri yang selama ini
belum diungkap.
Pertama, mengapa selama ini pihak kepolisian hanya intens
mengarahkan penyelidikan ke pihak Garuda bukan kepada BIN?
Kedua, mengapa mayat Munir baru dua bulan dikembalikan
pemerintah Belanda ke Indonesia pada awal November 2004, padahal ia dibunuh
pada penerbangan Jakarta-Amsterdam via Singapura pada 7 September 2004? Meski
pada waktu itu pemerintah Belanda berdalih untuk autopsi, tetapi mengapa
autopsi begitu lama sampai dua bulan, apakah tidak akan menghilangkan berbagai
barang bukti yang seharusnya bisa segera terungkap.
Ketiga, sesuai dengan ilmu forensik, barang bukti bisa
berupa darah maunpun organ tubuh. Apa tidak mungkin darah dan organ tubuh Munir
telah diganti dengan milik orang lain oleh tim forensik Belanda? Berkaitan
dengan pertanyaan itu, seharusnya makam Munir dibongkar kembali. Tetapi, apakah
setelah dua tahun dikubur dan telah dilakukan autopsi total oleh tim forensik
Belanda masih bisa lagi diketahui penyebab kematian Munir?
Terdapat banyak permainan politik dalam kasus
kematian Munir. Pada 20 November 2004, Suciwati pernah mendapatkan sebuah
ancaman. Istri tercinta Munir itu dikirimi sebuah paket bungkusan dengan isi
kepala ayam, ceker, kotoran ayam yang sudah busuk, disertai dengan nada ancaman
yang isinya, “Awas!!!! Jangan Libatkan TNI Dalam Kematian Munir. Mau Menyusul
Seperti Ini?!”
Ancaman itu semakin menguatkan bahwa kematian Munir
adalah “pesanan”, semacam skenario yang dikonsep dengan matang. Itulah
sebabnya, lembaga imparsial dan Kontras yang didirikan oleh Munir mengutuk
ancaman atau teror tersebut. Menyikapi ancaman itu, Imparsial dan Kontras serta
Suciwati sebagai pihak keluarga Munir mengeluarkan pernyataan pers yang berisi
sebagai berikut.
1. Peristiwa tersebut adalah bentuk teror yang
ditujukan kepada keluarga (alm.) Munir dengan tujuan mengancam dan menghambat
agar proses pengusutan kematian aktivis HAM Munir yang masih sedang berjalan
tidak ditindaklanjuti.
2. Peristiwa tersebut adalah bukti yang memperkuat dan
membenarkan dugaan kami bahwa kematian aktivis HAM Munir bahwa disebabkan
karena kematian yang alami atau hanya sebatas tindak kriminal biasa, tetapi
lebih menjurus pada tindakan pembunuhan yang bermotif politik yang dilakukan
oleh orang0orang yang profesional dan terencana..
3. Adanya pesan yang tercantum di dalamnya adalah
sebuah pesan yang di satu sisi ingin mendiskreditkan institusi TNI dengan
berusaha melibatkan TNI dalam kematian Munir. Namun, di isi lain, pesan
tersebut sesungguhnya juga ingin menyampaikan dan mengarahkan pemikiran kepada
kami bahwa memang TNI terlibat dalam kematian Munir.
Selain poin-poin tersebut, pernyataan pers
tertanggal 21 November 2004 itu berisi tentang desakan kepada pemerintahan agar
serius menindaklanjuti pelaku teror itu.
Kematian Munir adalah sebuah tragedi. Di tengah
bangsa ini membutuhkan sosok yang tulus dan penuh dedikasi dalam memperjuangkan
hak asasi, justru Munir “disingkirkan” karena dianggap sebagai duri. Kematian
Munir tentu saja menjadi preseden buruk bagi masa depan bangsa ini. Apalagi
pengumuman secara hukum terkesan lamban dan tidak benar-benar serius.
Perjuangan atas dedikasi Munir yang begitu besar
patut diapresiasi. Mereka memiliki jiwa yang bening bersih pasti akan selalu
mengenang Munir. Sebuah film dokumenter pernah diluncurkan sebagai bentuk
apresiasi, penghormatan, dan penghargaan atas perjuangan Munir. Film bertajuk Bunga Dibakar karya Ratrikala Bhre
Aditya adalah salah satu film dokumenter yang dipersembahkan untuk mendiang
Munir. Film tersebut diluncurkan di Goethe Institute, Jakarta pada tanggal 8
September 2005 silam.
Film ini mengungapkan tentang pembunuhan Munir di
sebuah era yang bernama demokrasi, sebuah era yang mana seharusnya menjamin
kebebasan dan keterbukaan. Film ini juga bercerita tentang masa kecil Munir
yang suka berkelahi layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara
kelas, juga ditampilkan. Munir dibunuh di era demokrasi dan keterbukaan serta
harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang.
Semangat inilah yang ingin diungkapkan lewat film ini.
Selain film dokumenter Ratrikala Bhre Aditya itu,
Garuda’s Deadly Upgrade juga diluncurkan sebagai salah satu film dokumenter
yang dipersembahkan kepada Munir. Film tersebut dibuat atas kerja sama antara Dateline (SBS TV Austalia) dan Off Steam
Productions. His Story (2006)
menyusul kemudian sebagai salah satu film dokumenter yang bercerita tentang
proses persidangan Pollycarpus dan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan.
Film-film dokumenter itu dibuat sebagai wujud
apresiasi dan cinta kita kepada Munir. Dibunuhnya Munir adalah kenyataan yang
sulit kita terima, terutama di tengah pincangnya penegakan hukum dan
dikebirinya hak-hak asasi manusia di negeri ini.
Komentar
Posting Komentar