#MenolakLupa!! #JanganAmnesia!!! Kasus Semanggi. Apakah Kini Terulang Lagi?
“Menolak Lupa! Tragedi Berdarah Semanggi”
Ruang Mahasiswa adalah ruang
dimana kita belajar tanpa batas, sekat dan pangkat. Namun kini kembali mengernyit,
maka jadilah mahasiswa yang terlogis, analisis dan praktis
Oleh
Aris Rasyid Setiadi
Sumber foto: https://nalarpolitik.com/latar-belakang-tragedi-semanggi-1/ |
Tidak jauh berbeda dengan Tragedi Trisakti
sebelumnya yang pernah saya kulas, kini secara miris karena demokrasi miring
terjadi lagi, seperti yang sering kita dengar, kini Indonesia kini sedang tidak baik-baik saja kawan, aksi unjuk
rasa, aksi damai atau aksi demokrasi mati berkumandang seantero negeri, kaum
intelektual menyuarakan di depan Gedung DPRD masing-masing, mereka menolak RUU
KHUP, RUU KPK, RUU Petanahan, RUU Pemasyarakatan dan aspirasi lainnya yang dari
tiap kabupaten berbeda-beda. Kini kita mendengar duka bahwa kawan seperjuangan kita tertembus
timah panas di beberapa hari lalu tepatnya tanggal 23 September 2019 yang
menimpa saudara seperjuangan kita yaitu Randi yang tertembak di dada kanan
secara tragis dalam berjuang saat mengikuti unjuk rasa di depan DPRD Kendari
yang mana meninggalkan luka dan duka mendalam bagi kita semua terutama
mahasiswa dan kematian demokrasi, terlebih kini teman seperjuangannya yang sama-sama ikut dalam aksi akhirnya meninggal juga setelah terkena
hal serupa. Walaupun kini Kapolda Sulawesi Tenggara telah dicopot dari
jabatannya, namun kita masih belum puas dan karena memang kasusnya masih begitu
terasa sampai kini.
Apakah kita mengingat tragedi berdarah serupa yang
memakan banyak korban berjatuhan setelah aparat keamanan melepaskan tembakan
secara membabi buta kepada kerumunan mahasiswa yang berunjuk rasa menolak
Sidang Istimewa MPR yang pada saat itu membahas perhelatan pemilu pasca
lengsernya rezim ototarianisme Orde Baru. Yaa, itulah dikenal Tragedi Semanggi.
Berawal di depan kampus Atma Jaya Semanggi, Jakarta
Selatan, ribuan mahasiswa yang berbaur dengan masyarakat sejak sore hingga dini
hari, berunjuk rasa menuntut pembubaran Sidang Istimewa. Mereka dihadang aparat
keamanan yang siap siaga dengan senjata. Demonstrasi besar-besaran itu dimulai
sejak tanggal 11 November dan memuncak pada tanggal 13 November 1998. Peristiwa
yang memakan korban ini dikenal korban ini dikenal dengan Tragedi Semanggi I.
Saat itu, seluruh mahasiswa di tanah air benar-benar
tidak percaya dengan agenda-agenda pemerintah. Itulah sebabnya, mereka menuntut
pembubaran Sidang Istimewa. Selain itu, para mahasiswa juga menuntut B.J.
Habibie lengser, menuntut anggota DPR/MPR Orde Baru bubar, menuntut militer
menyingkir dari politik, dan sebagainya.
Mahasiswa menginginkan pemerintahan di negeri ini
bebas dari sisa-sisa Orde Baru yang otoriter. Mereka yang bergabung membahu
dengan masyarakat juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Di jalanan, terutama di
Jakarta, aksi mahasiswa begitu menyemut dan seolah-olah mereka bergerak ingin
merobohkan kantor DPR. Ya, aksi mahasiswa saat itu benar-benar mendapatkan
perhatian yang ekstra dari aparat kemanan.
Di hari yang naas itu, bangsa Indonesia seperti
dihadapkan pada kenyataan politik yang mengedepankan kekerasan. Penembakan dan
pembunuhan seolah menjadi pemandangan biasa dan mendapatkan pembenarannya lewat
jargon “demi keamanan dan stabilitas politik”, sehingga korban pun berjatuhan.
Tercatat sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus yang tertembak dan meninggal
di jalan berjumlah 6. Sedangkan 11 korban meninggal lainnya terdiri dari 2
pelajar SMA, 2 anggota Polri, 1 anggota satpam Hero Swalayan, 4 anggota Pam
Swakarsa, dan 3 warga. Adapun korban yang mengalami luka-luka yang diakibatkan
tembakan senjata api dan pukula benda keras berjumlah 456 orang. Mengerikan
memang, benar bukan? Siapapun diantara kita ketika mencoba mengingat kembali
Tragedi Semanggi, itu pasti pertanyaan yang muncul tidak lain dan tidak bukan
kenapa penembakan itu terjadi? Bukankah kekerasan sangat bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan?
Bangsa ini ternyata belum mau belajar dengan
peristiwa sebelumnya. Kejadian serupa yakni Tragedi Semanggi II terjadi lagi.
Pada 24 September 1999, meletus aksi kekerasan yang menyebabkan tewasnya
seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan
217 korban luka-luka. Lantas siapa yang bertanggung jawab? Tragedi Semanggi I
dan II adalah potret kekerasan, potret pembunuhan anak bangsa yang hingga kini
tidak benar-benar diproses secara hukum. Sudah sangat jelas bagaimana
pelanggaran HAM terjadi dalam peristiwa itu. Laporan dari Komnas HAM, misalnya,
yang menyimpulkan bahwa pada tragedi Semanggi I terjadi pelanggaran HAM berat,
namun pemerintah terkesan mengabaikan.
Bahkan, pada Februari 2006 silam, DPR dengan
terang-terangan menolak kembali pelanggaran HAM dalam Tragedi Semanggi (Juga
Trisakti). Sebagaimana dilansir oleh Koran Tempo (19 Februari 2006), DPR
menolak membahas kasus pelanggaran hak asasi manusia di Trisakti, Semanggi I
dan II. Agung Laksono yang menjabat sebagai ketua DPR saat itu mengatakan bahwa
fraksi-fraksi di Rapat Badan Musyawarah menolak agenda tersebut. Ketika
wartawan bertanya tentang penolakan pembahasan kembali Tragedi Semanggi, Agung
membenarkan keputusan rapat pimpinan DPR pada 27 Januari 2006 yang memutuskan
tidak perlu ada pembahasan kembali kasus pelanggaran hak asasi manusia
tersebut.
Tentu saja, kita berharap ada keadilan yang harus
ditegakkan. Siapa saja yang terlibat dalam peristiwa yang tidak akan pernah
dilupakan itu harus diproses secara hukum. Keluarga korban yang hingga kini
masih meneteskan air mata ketika mengingat kembali anaknya yang terkapar oleh
peluru, tentu saja berharap keadilan ditegakkan, hukum harus dijunjung
setinggi-setingginya. Barangkali mereka akan bertanya-tanya, sampai kapan
proses hukum ini akan tuntas? Akankah pelanggaran HAM dalam peristiwa Semanggi
I dan II benar-benar diagendakan oleh pemerintah mengingat saat itu tragedi
kemanusiaan itu seolah dilupakan?
Kita masih ingat saat bulan Mei 2011 saat presiden
SBY telah membentuk Tim Kecil Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
yang dipimpin Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).
Langkah ini adalah salah satu upaya dalam mencari solusi atas pelanggaran HAM
yang terjadi dalam tragedi tersebut. Namun, sebagaimana kita ketahui tim bentuk
SBY itu belum membuahkan hasil. Itulah sebabnya, pada November 2011, keluarga
korban kembali mendesak tim itu untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden
agar menginstruksikan Jaksa Agung memulai penyidikan, berdasarkan temuan Komnas
HAM. Tetapi, tim bentukan presiden itu sepertinya hanya tinggal cerita. Tak ada
langkah strategis yang dilakukan. Sehingga, sampai saat ini, kita menyaksikan
bagaimana persoalan hukum itu menjadi terkatung-katung. Ketidakjelasan ini
tidak lepas dari Jaksa Agung yang tidak menindaklanjutinya ke tahap penyidikan.
Jaksa Agung berasalan bahwa berkas tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan
karena parat pelaksana di lapangan telah diadili di pengadilan militer dan
belum terbentuknya pengadilan HAM Ad Hoc untuk peristiwa tersebut.
Secara hukum, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan
dan bahkan menyesatkan publik? Kenapa, pertama,
perihal pengadilan militer yang diatur UU No 31 Tahum 1997 tentang
Pengadilan Militer bukanlah yurisdiksi dari perkara pelanggaran HAM yang berat
berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity). Pelanggaran HAM berat merupakan sebuah kejahatan yang
luar biasa (extra ordinary crime) dan
proses penyelesaiannya harus sesuai dengan UU No 26 Tahun 200 tentang
Pengadilan HAM.
Kedua, perihal belum terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc,
sudah terjawab melalui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI)
No. 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan
pasal 43 (2) UU No 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM. MK dalam putusannya
menyatakan bahwa pasal 43 ayat 2 tetap berlaku. MK juga menyatakan bahwa untuk
menentukan perlu tidaknya pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc terhadap suatu
kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan
institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat, yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Namun, DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM Ad
Hoc, harus mendasarkan pada hasil penyelidikan oleh Komnas HAM dan penyidikan
oleh jaksa agung. Mengacu pada hal tersebut, alasan jaksa agung untuk melakukan
penyidikan dengan menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc terlebih dahulu
tidak sejalan dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat bagi siapa
pun?
Pertimbangan-pertimbangan yang tidak masuk akan
itulah yang membuat kasus Semanggi tidak jelas dan akan semakin tidak jelas.
Ditambah lagi pemerintah kurang memiliki komitmen yang kuat dalam menuntaskan
masalah tersebut. Semua itu tentu saja menunjukkan kurangnya komitmen
pemerintah. Ya, komitmen pemerintah benar-benar dipertanyakan. Pihak-pihak yang
bertanggung jawab dalam Tragedi Semanggi itu seolah dibiarkan. Justru, mereka
saat ini mendapat posisi strategis di pemerintahan. Menyedihkan, bukan?
Komentar
Posting Komentar