#MenolakLupa!! #Jangan Amnesia!!! Kronologi Sejarah Luka Trisakti 12 Mei 1998
“Menolak
Lupa! Tragedi Trisakti dalam Sejarah Luka”
Bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari
bentuk demokrasi dan monarki.
Selain itu, politik yang ideal seharusnya bertujuan
untuk mengantarkan
manusia pada hidup yang baik.
-
Aristoteles
Oleh Aris Rasyid Setiadi
Apa Itu Politik?
Di saat negara tengah diwarnai dengan
dinamika dan ketidakberesan politik, banyak orang sering menyebut istilah
politik dan memperbincangkannya. Perbincangan tersebut tidak hanya digelar di
beberapa stasiun televisi, saluran radio, tetapi merambah di media sosial, seminar,
diskusi, dan obrolan ringan di tiap sudut kampus dan sekretariatan organisasi
mahasiswa.
Istilah politik bersumber dari kata politiek (bahasa Belanda), politics (bahasa Inggris), dan politikos (bahasa Yunani). Terdapat
pendapat lain yang menyatakan bahwa istilah politik berasal dari kata polis yang berarti negara negara kota, polities yang berarti orang kota atau
warga negara, dan politikos yang
berarti kewarganegaraan. Dari istilah ini, muncul sitilah baru yakni politike techne yang berarti kemahiran
politik, ars politica yang berarti
kemahiran dalam persoalan negara, dan politike
episteme yang berarti ilmu politik.
Berdasarkan uraian tadi, politik dapat
kita maknai sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang di antaranya berwujud proses pembuatan keputusan. Selain itu, terdapat
suatu pendapat bahwa politik merupakan seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan
baik secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Masih belum paham juga? Pengertian
politik mudahnya adalah metode (cara) untuk bisa meraih apa yang dituju.
Sebagai metode, politik tidak hanya digunakan para politikus yang duduk di gedung
parlemen, tetapi juga bagi pemimpin negara beserta wakil dan menteri-menterinya
di dalam merealisasikan tujuan negara.
Tri
Sakti dalam Bingkai Sejarah Luka
Di Indonesia, kita bisa melihat akar
dari seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi bukan semata-mata berakar pada
karakter atau temperamen komunitas masyarakat bersangkutan, namun lebih karena
negara-lewat struktur politiknya-seolah “merekomendasikan” kekerasan dalam
berbagai bentuknya. Tentu saja, pemerintah tidak akan pernah menerima dikatakan
seperti itu. Tetapi, fakta sudah membuktikan bahwa negara benar-benar menjelma
menjadi monster kemanusiaan. Dalam sudut pandang filsafat politik, negara bukan
hanya berhak melakukan kekerasan, tetapi juga memegang monopoli salah satunya
tragedi Trisakti. Masih ingatkah? Apakah dalam peristiwa itu seolah absen?
Tanggal 12 Mei 1998, negeri ini
berkabung, tepat 9 bulan saya lahir. Universitas Trisakti menjadi saksi
sejarah dimana pembunuhan terhadap mahasiswa tak berdosa terjadi. Elang Mulia
Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie adalah pahlawan-pahlawan muda yang menjadi
penembakan korban brutal aparat keamanan. Mereka yang masih tercatat sebagai
mahasiswa Universitas Trisakti itu menghembuskan nafas terakhir setelah kepala
dan dada mereka tertembus peluru. Sementara itu ratusan korban lainnya
mengalami luka-luka.
Dua puluh satu tahun lebih penembakan
brutal terhadap aksi mahasiswa itu berlalu. Namun, kita masih mengenangnya
sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang mengerikan, semacam panggung kekerasan
politik yang begitu menyayat hati. Sebuah tragedi yang sampai saat ini
menyimpan misteri. Ya! misteri
tentang siapa saja yang harus bertanggung jawab. Semuanya menjadi tidak jelas.
“Demokrasi berarti pemerintahan dengan musyawarah.
Tapi itu benar-benar efektif jika
kita bisa membuat orang-orang berhenti bicara.”
-
Clement Atlee
Tragedi Trisakti adalah salah satu
peristiwa kekerasan yang mengguncang dunia. Tragedi ini terjadi ketika Soeharto
masih duduk di kursi kekuasaan (presiden). Saat itu, aksi-aksi mahasiswa begitu
meluas tidak hanya di pusat (Jakarta), tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia
seperti di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, dan
lainnya. Mereka, para mahasiswa yang terdiri dari berbagai organisasi itu, menuntut
Soeharto turun karena situasi ekonomi yang kian tak menentu. Mereka juga
menuntut pemerintahan yang demokratis, yang berpihak kepada rakyat. Intinya,
mereka menginginkan reformasi yang total karena bangsa ini sudah berada di
jurang kemunduran.
Aksi-aksi mahasiswa yang tergelar di
berbagai daerah seolah-olah berpuncak pada Trisakti. Di hari yang kelam itu,
para mahasiswa melakukan aksi damai. Perlahan-lahan mereka bergerak menuju
Gedung Nusantara. Aksi ini terjadi pada pukul 12:30. Melihat aksi mahasiswa
yang menyemut itu, polri dan kemudian disusul militer datang memblokade gerakan
mahasiswa. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat ini adalah Brigade
Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kalveri 9, Batalyon Infanteri 203, Bataylon
Infanteri 202, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Pasukan Anti Huru Hara Kodam.
Pasukan kemanan itu menggunakan tameng serta membawa gas air mata.
Pada saat itulah tembakan kemanan
membuat mahasiswa panik dan sebagian lari berlindung di kampus Trisakti. Korban
pun berjatuhan. Empat mahasiswa tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Dikutip dari buku Menolak Lupa;
Jejak-Jejak Dosa Penguasa yang Takkan Terlupakan yang berasal dari Situs
indoprotest.tripod.com pernah meliris kronologi peristiwa berdarah Trisakti
oleh senat mahasiswa Universitas Trisakti. Berikut kronologi kejadian dari awal
hingga akhir.
1.
Jam 10.30,
terjadi aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di
pelataran parkir depan gedung M (Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan
segenap massa Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas,
dan universitas serta karyawan yang berjumlah sekitar 6000 orang di depan
mimbar.
2.
Jam 10.45-11.00,
aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang
yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta
mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda
keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia.
3.
Jam 11.00-12.25,
aksi orasi serta unjuk rasa (mimbar bebas) dilaksanakan dengan para pembicara
baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan
dengan baik dan lancar.
4.
Jam 12.25-12.30,
massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan
tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan
menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu
gerbang arah Jalan Jendral S. Parman.
5.
Jam 12.30-12.40,
satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu
gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan imbauan
untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
6.
Jam 12.40-12.50,
pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju
MPR/DPR melewati kampus Untar.
7.
Jam 12.50-13.00,
long march mahasiswa dihadang tepat
di depan pintu masuk kantor wali kota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari
kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
8.
Jam 13.00-13.20,
barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa
(SMUT) melakukan negosiasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim dan
wakapolres Jakarta Barat). Sementara negosiasi berlangsung, massa terus
berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak
dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah
kanan. Selain itu pula, masyarakat mulai bergabung di samping long march.
9.
Jam 13.20-13.30,
tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi terkait long march yang tidak dipebolehkan
dengan alasan oleh kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat
menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut
merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak, pada saat
yang hampir bersamaan, datang tambahan aparat pengendalian massa (Dal-Mas)
sejumlah 4 truk.
10. Jam 13.30-14.00, massa dapat dibujuk oleh rekannya
untuk duduk. Lalu, massa melakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan.
Sementara, rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat.
Sementara itu pula, datang tambahan aparat dari Kordan Jaya dan satuan
kepolisian lainnya.
11. Jam 14.00-16.45, negosiasi terus dilanjutkan dengan
komandan (dandim dan kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi
MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel
maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun, massa tetap tak bergeming. Yang
terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit
massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
12. Jam 16.45-16.55, wakil mahasiswa mengumumkan hasil
negosiasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama
mundur. Awalnya, massa menolak tapi dibujuk oleh bapak dengan FE dan dekan FH
Usakti serta ketua SMUT, massa mau bergerak mundur.
13. Jam 16.55-17.00, mahasiswa bergerak mundur secara
perlahan dimikian pula aparat. Namun, tiba-tiba seorang oknum yang bernama
Mashud yang mengaku sebagai alumni
(sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengucapkan kata-kata kasar dan kotor
ke arah massa. Hal ini memancing massa
untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang
sedang memata-matai massa.
14. Jam 17.00-17.05, oknum tersebut dikejar massa dan
lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut.
Hal ini menimbulkn ketegangan antara aparat dan massa massa mahasiswa. Pada
saat itu, petugas satgas, ketua SMUT, serta kepala kamtibpus Trisakti menahan
massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang.
Kemudian, kepala kamtibpus mengadakan negosiasi kembali dengan dandim serta
kapolres agar masing-masing baik mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
15. Jam 17.05-18.30, ketika massa bergerak mundur
kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan
menertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa, sehingga
sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat
terpancing dan bermaksud menyerang aparat kemanan, tetapi dapat diredam oleh
satgas mahasiswa Usakti. Pada saat yang bersamaan, barisan aparat langsung
menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas ar mata sehingga
massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut
terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta dan sniper-sniper
(penembak jitu), pelemparan gas air mata di hampir setiap sisi jalan, pemukulan
dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakan yang disertai dengan
pelemparan mahasiswa ke kali, lalu ditembak tanpa belas kasihan sedikit pun
serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswa termasuk ketua SMUT yang berada
di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet di
pinggang kanan. Hal ini merupakan tindakan-tindakan amoral dan brutal yang
dilakukan oleh pihak aparat kemanan dalam mengamankan aksi keprihatinan
mahasiswa. Kemudian, datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi
yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan
sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara itu, aparat yang lainnya
sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa
mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja tergeletak-tergeletak di
tengah jalan. Yang mengenaskan, ada seorang mahasiswa yang sudah berjongkok
minta ampun tapi tak digubris dan terus dipukuli. Aksi penyerbuan aparat terus
dilakukan dengan melepaskan tembakan yang terarah ke depan gerbang Trisakti.
Sementara itu, aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakan
ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus. Sebagian aparat yang ada di
bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak
dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di
dalam kampus. Tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban,
baik luka maupun meninggal dunia. Ada tiga orang yang meninggal dunia seketika
di dalam kampus dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam
kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima
belas orang. Mereka memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
16. Jam 18.30-19.00, tembakan dari aparat mulai mereda,
rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di
beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
17. Jam 19.00-19.30, rekan mahasiswa kembali panik
karena ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan
sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian
kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat aman
seperti mushala dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi. Mahasiswa
ketakutan.
18. Jam 19.30-20.00, setelah melihat keadaan sedikit
aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar dari ruangan. Lalu, terjadilah dialog
dengan dekan FE untuk dimintai kepastian pemulangan mereka ke rumah mereka
masing-masing. Terjadi negosiasi antara dekan FE dengan kolonel Po. Arthur
Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan
cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan
pulang dengan aman.
19. Jam 20.00-23.25, walau masih dalam keadaan ketakutan
dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsung-angsur
pulang.
Demikianlah kronologi kejadian peristiwa
Trisakti, tragedi ini seolah menggertak Soeharto agar secepat mungkin
menanggalkan jabatannya. Penguasa Orde Baru itu kemudian mundur pada 21 Mei
1998 karena desakan mahasiswa yang begitu kuat. Setelah Soeharto mundur, negeri
ini membuka lembaran-lembaran baru, ada semacam keyakinan dalam menatap
langit-langit masa depan.
Barangkali, kita masih diliputi tanda
tanya besar tentang penuntasan kasus hukum yang terjadi di Trisakti itu.
Begitulah yang terjadi di negeri ini. Para penguasa kita seolah lupa bahwa
lumuran darah para martir yang berasal dari kampus Trisakti adalah sebentuk
perjuangan dalam menumpaskan rezim yang otoriter. Jerit tangis mereka ketika
melihat anak-anak mereka bersimbah darah oleh tusukan peluru tajam seolah tak
terdengarkan. Di manakah keadilan?
Rezim-rezim terus berganti. Tetapi,
kasus hukum Trisakti seolah dibiarkan menggantung. Kini setiap tanggal 12 Mei
diperingati tragedi Trisakti, saat itu pula kita seolah disadarkan betapa
pentingnya keadilan, betapa pentingnya hukum yang semestinya, tentu saja kita
berharap bangsa yang begitu besar ini tidak pernah mundur sedikit pun dalam
memperjuangkan demokrasi, anak-anak muda yang tak pernah lelah memperjuangkan
demokrasi adalah potret semangat kebangsaan yang mestinya diapresiasi, bukan
dibungkam dengan senjata.
Teruslah
peringati, teruslah napak tilas, teruslah desak sampai dunia sadar bahwa hal
ini memang perlu diselesaikan, terutama pihak keluarga yang ditinggalkan,
keadilan yang ditegakkan dan kemanusiaan yang ditinggikan!!! Hidup Mahasiswa!! #Menolak
Lupa #Jangan Amnesia!!!
“Pesulap dan politikus punya satu
persamaan yaitu mereka harus pandai mengalihkan perhatian publik dari apa yang
sebenarnya sedang mereka lakukan.”
-
Ben Okri
Komentar
Posting Komentar