#MenolakLupa!! #JanganAmnesia!!! Poso, Kenangan Kelam Yang Terabaikan



“Menolak Lupa! Poso dan Tragedi Kemanusiaan”

Kita percaya keberagaman dan toleransi harus dimenangkan – Jerinx
Oleh Aris Rasyid Setiadi




Ketika menyebut nama Poso, sontak yang terbayang dalam benak kita ialah konflik dan konflik. Ya, sebagaimana Aceh dan Papua, Poso memang rawan konflik. Tragedi kemanusiaan acap kali terjadi di sana. Konflik berdarah Islam-Kristen seolah mempertegas bahwa Poso memang potensial melahirkan kekerasan.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya; Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah Toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah Poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelompok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Poso, memang tidak aman. Sejak bulan Desember 1998 yang silam, Poso telah bergolak. Kemudian, berlanjut pada tragedi April 2000 yang dikenal dengan “Kerusuhan Poso II” dan “Kerusuha Poso III” yang berlangsung tanggal 26 Mei sampai 15 Juni 2000. Dalam tragedi berdarah itu, korban yang jatuh mencapai 300 lebih.
Tragedi Poso di tahun 1998 bermula dari penganiayaan Roy Runtu (Kristiani) terhadap Ridwan Ramboni (Muslim). Peristiwa ini terjadi tepat di Hari Natal, yakni pada hari Jum’at tanggal 25 Desember 1998. Penganiayaan itu dilakukan di masjid Darussalam Kel. Sayo. Sontak saja, penganiayaan itu memantik konflik massal. Konon, Roy Runtu melakukan penganiayaan karena pengaruh minuman keras. Apa pun penyebab terjadinya penganiayaan tersebut, tetap saja tidak mampu mendamaikan keadaan. Sebab, pemuda-pemuda remaja masjid melakukan reaksi terhadap kasus yang menimpa Ridwan Ramboni.
            Itulah awal mula kejadian memilukan yang memicu konflik berdarah di Poso tahun 1998. Isu-isu mengenai SARA kemudian menghiasi konflik itu. Sehingga, sentimen agama tak terbendung lagi. Pada saat itulah, panggung kekerasan tergelar. Darah tercecer. Poso mencekam.
            Tragedi kemanusiaan di Poso jelas merupakan potret nyata bahwa di satu sisi negeri ini masih “nyaman” dengan situasi yang berujung pada pembunuhan. Kekerasan seolah menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh. Sedangkan di sisi lain, pemerintah gagal menjembatani konflik berdarah tersebut. Sehingga, ke depannya, tragedi Poso masih berpotensi meledak kembali. Entah dengan isu-isu apalagi.
Membaca konflik Poso jelas tidak hanya semata-mata dari kacamata kesukuan. Artinya, kesukuan bukan masalah utama yang menjadi sumber konflik. Meskipun kita tahu bahwa koflik Poso awalnya dilatarbelakangi oleh masalah kesukuan dan kecemburuan sosial, akhirnya Kristen di Poso ingin menegakkan satu aturan, yakni aturan Kristen, khususnya di daerah Tentena. Tidak hanya itu, pihak Kristen juga ingin menjadikannya sebagai ibu kota dari Kabupaten Pamona Raya yang murni mereka kelola.
Terlepas dari benar tidaknya pernyataan tersebut, faktor politis memang harus dicurigai, karena Poso telah ditunggangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan (kaum pemodal). Banyak korporasi-korporasi raksasa yang menjadikan konflik kekerasan di Poso sebagai keberkahan (blessing in disguise). Barangkali, itu adalah proyek imperialisme terselubung. Sebagaimana dikatakan oleh Eggi Sudjana, kita memang harus hati-hati dengan gaya baru imperialisme di mana kini subjeknya tumpang tindih antara pelaku ekonomi swasta dan penguasa politik. Dan, sepertinya itu terjadi di Ambon.
Barangkali, selama ini kita hanya melihat kekerasan berdarah di Poso degan kacamata “kekerasan antar pemeluk agama”, tanpa melihat adanya konflik-konflik struktural menyusul kehadiran korporasi-korporasi raksasa. Karena itu, keinginan untuk membentuk sebuah kabupaten khusus bagi orang Kristen juga berkait-berkelindan dengan keinginan para kapitalis domestik dan global melalui korporasi-korporasi raksasa untuk menguasai kekayaan sumber daya alam yang memang sangat melimpah di daerah itu.
Banyak pisau analisis yang digunakan untuk membedah bagaimana memahami kejadian di Poso yang telah merenggut banyak korban, mulai dari perspektif hubungan sosial antar-pemeluk agama hingga masalah korporasi yang berperan di balik tragedi itu, sebagaimana dijelaskan tadi. Dari sekian analisis terkait kekerasan di Poso, banyak yang sepakat bahwa negara telah gagal dalam menciptakan ruang yang kondusif bagi masa depan Poso. Berkali-kali jalur ditempuh oleh pemerintah, tapi Poso tetap bergejolak dan terus akan bergejolak mungkin?
Dalam catatan lembaga Kontras, dalam konflik kekerasan di Poso itu terdapat dua karakter yang berbeda. Pertama, konflik kekerasan yang terjadi secara terbuka. Pada masa ini konflik dan kekerasan dilakukan secara masif, terorganisir dan menggunakan identitas kelompok tertentu yang bisa dikenali oleh pihak lain. Kedua, kekerasan yang terjadi secara tertutup. Pada masa ini, kekerasan dilakukan hanya melibatkan sejumlah kecil orang, tidak tampak pergerakan massa secara masif. Sedangkan kesamaan dari kedua konflik kekerasan itu ialah keterlibatan aparat keamanan, baik berupa tindakan langsung (melalui individu atau unit atau kesatuan) maupun tindakan tidak langsung, seperti pembiaran, pelepasan tersangka kekerasan.
Dengan demikian, dalam membaca kekerasan di Poso, tidak adil jika kita hanya mengkritik warga sipil yang terlibat dalam konflik itu dengan klaim bahwa mereka intoleran dan eksklusif-fanatik. Meskipun kenyataannya demikian, kita juga harus membaca kembali komitmen yang diusung pemerintah terkait dengan penanganan masalah Poso.
Pemerintah telah gagal karena berulang kali peristiwa kekerasan terjadi di Poso. Bahkan, Human Right Watch, sebuah lembaga pemantau hak asasi manusia, menilai terjadinya konflik berdarah di Poso merupakan bentuk langsung kegagalan pemerintah pusat Indonesia selama empat tahun. Dalam penelitian yang dipublikasikan di New York pada tanggal 4 Desember 2002 itu, sebagaimana dilansir Tempo, disebutkan bahwa lebih dari seribu orang meninggal dan lebih dari 100.000 kehilangan tempat tinggal sejak konflik antara umat Islam dan Kristen di Poso meletus pada Desember 1998.
Kegagalan pemerintah Indonesia di mata Human Right Watch ialah membiarkan keamanan di kedua kubu tak terkendali. Sehingga, tembakan dan serangan bom terus berlanjut begitu bebasnya. Selain itu, pemerintah Indonesia dinilai gagal karena membiarkan para tersangka kerusuhan bebas berkeliaran dan lolos dari jerat hukum.
Kini maka dari itu, pertanyaan yang layak kita ajukan ialah, sampai kapan pemerintah akan menindak dengan tegas para pelaku pelanggar HAM di Poso serta memberi keadilan bagi para korban dan keamanan sosial untuk selanjutnya? Apakah hanya sekedar berlatarbelakang sosial-budaya bukan politik agama? Atau politik-politik lainnya? Apakah ini pembantaian terhadap satu agama saja? dan pertanyaan misterius lainnya. Tentunya kini menjadi tugas kita bersama untuk mencari tahu kebenaran di balik semua pertanyaan-pertanyaan itu.


“Memuliakan manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.” – Gus Dur

Komentar

Postingan Populer