"Menyoal Makhluk Sosial dan Keamanan Sosial"
“Menakar
Pernyataan dalam Pertanyaan?”
Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas
apa makna umurku ini?
– K.H.
Abdul Wahid Hasyim.
Oleh
Aris Rasyid Setiadi
Ada kalanya kita cemas bahwa ketika
kenangan, mimpi, pertanyaan, dan cita-cita yang benak kita tidak terbatas dan
tak terpuaskan pada hal-hal apapun bahkan pernyataan fakta sekalipun. Setuju
atau sedelapan kita semua hampir sepakat untuk itu. Yaah walaupun mungkin di
lain sisi itu hanya sebatas rasa ingin tahu, rasa ingin ‘menjadi’ atau men-judge tanpa sadar. Apalagi setiap hari
kita semua disuguhkan sarapan, makan siang dan makan malam dengan informasi dan
berita yang menggambarkan dunia sedang tidak baik, baik buruknya kini menjadi
buruk semua; sama saja itu buruk, moral menurun, pertemanan semakin eksklusif, ibarat
pengalaman lalu yang seharusnya dilakukan malah menjadi kenangan yang
terlupakan, pesta pora dalam kesedihan!!
Entah
menjadi hal yang biasa atau terbudaya kita biasanya langsung menilai tanpa
mencari tahu apakah itu hanya sebatas pendapat publik, sebatas guyon, sebatas sindirian atau nyinyiran belaka
yang sah-sah saja dalam ruang publik, namun terkadang langsung ke tingkat akhir
dari penjurian, yakni menilai?!! Tidak mudah memang menjadi orang yang
berpikiran minimalis di media massa, hal-hal seperti itu menghujani kita tanpa
henti, menyampaikan bahwa pesan sukses diukur dari materi (dalam produk) yang
kita kumpulkan atau kita lebih mempunyai pengetahuan dan pengalaman lebih dari
mereka. Semua frasa ini hendak mengatakan bahwa semakin banyak kita seperti
itu, semakin banyak barang, semakin kita bahagia. Padahal, semakin banyak
seperti itu, semakin repotlah itu, bahkan semakin banyak pula hutang dan
minimnya pengetahuan kita.
“Hal itu, sesungguhnya, begitu penting.”
Waah!
Mari kita berhenti sebentar untuk menenangkan diri. Tenang, dan pelan... pelan
sekali, hingga akhirnya berhenti. Apa maksudnya?
Kita
cenderung tidak suka memikirkan hal ini, tapi tidak ada yang bisa menampik
bahwa waktu kita di dunia ini terbatas. Suka atau tidak, hal-hal yang kita
tinggalkan menjadi bagian dari warisan kita. Rasanya tidak seorangpun yang
ingin dikenang sebagai tukang pengumpul rongsokan atau dibawahnya. Tidakkah
lebih menyenangkan diingat sebagai sosok yang hidup tanpa beban dan anggun,
dengan hanya menelaah dan mencoba memahami bahwa semua itu perlu demi
keseimbangan dan kesempurnaan satu sama lain dan itu istimewa bukan?
Saat
menilai sesuatu dengan sikap kritis, kita mungkin terkejut melihat betapa banyaknya
sesuatu yang mengenang masa lalu, melambangkan harapan atau masa depan, atau
melambangkan sesuatu yang kita khayalkan. Sayangnya, memberikan terlalu banyak
ruang, waktu, dan energi untuk sesuatu tersebut membuat kita sulit menjalani
hidup dan menghargai momen yang sedang berlangsung ini. Dalam upaya ’membenarkan’
keadaan ini, kita beranggapan bahwa ini adalah bukti pencapaian (padahal, siapa
yang perlu mengeluarkan hasil tes matematika hanya untuk membuktikan kita lulus
mata pelajaran itu?). Namun, justru hal seperti inilah sering kali yang dilakukan.
Ingat,
sesuatu yang menggambarkan aspirasi apapun itu bentuknya adalah ‘perlengkapan’
bagi versi diri yang kita impikan; kita harus membersihkan hal-hal yang kurang
baik agar punya waktu, energi, dan ruang untuk benar-benar mengaktualisasikan
diri kita sendiri serta meraih setiap potensi yang kita miliki.
“Kita hanya perlu
berhenti sebentar dan
bertanya
‘Kenapa’ sebelum membeli sesuatu.”
Komentar
Posting Komentar