"Kanal Progresif : Devide et Impera, Semaoen, SI Merah dan Marxisme"

"Devide et Impera Belanda dan Munculnya SI Merah"

“Jika satu hal kebaikan bagi kemanusiaan masih kurang, tidakkah yang kurang itu - Kemanusiaan itu sendiri?”

Oleh Aris Rasyid Setiadi

Sumber foto https://www.dailysia.com/hanya-lulus-sd-inilah-sepak-terjang-semaun-sebagai-ketua-pki-pertama/

Dengan tidak menutup mata atas kurangnya kekuatan dorongan melalui Volksraad, aktivitas organisasi Pak Tjokro di SI sejak tahun 1912 sampai puncaknya pada ahun 1919 ketika anggota SI mencapai hingga dua setengah juta orang, merupakan prestasi yang sangat luar biasa. Prestasi yang belum pernah tersaingi pada zamannya dibanding dengan organisasi lain seperti Indische Partij, Boedi Oetomo, atau bahkan ISDV (cikal bakal PKI), dan partai lainnya waktu itu. Makin besarnya organisasi tidak membuat pak Tjokro tenang, malahan pak Tjokro menjadi incaran banyak pihak, terutama Belanda. Bagi Belanda kebesaran SI sangat berbahaya bagi keberlangsungan kolonialisme pemerintah Belanda. Usaha menjegal SI dan pak Tjokro berulang keberadaan SI secara legal, memata-matai kegiatan, menanamkan intel seperti Agoes Salim (yang pada akhirnya malah berbalik menjadi orang kedua SI setelah pak Tjokro), maupun propaganda lewat tokoh-tokoh “bayaran”.

Menarik sebenarnya untuk diulas, khusus mengenai Islam “bayaran”. Cara-cara Belanda melakukan delegitimasi SI dan pak Tjokro sepertimya sama seperti yang dilakukan pada masa-masa pergerakan kedaerahan melalui pemanfaatan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh Islam pragmatis. Salah satu tokohnya adalah Usman Husaini, penasihat honorer alias bayaran Belanda untuk urusan masyarakat Arab (Adviseur Honorair Urusan Arab). Sebenarnya, Usman Husaini, keturunan Arab merupakan murni Betawi, tetapi pernyataan-pernyataannya sering kali merugikan kegiatan pergerakan, seperti interpretasinya tentang Jihad seperti ditulis dalam Minhaj Al-Istiqomah fi Al-Din bi Al-Salamah yang merugikan pergerakan nasional. Pandangannya mengenai Islam bukanlah gerakan perlawanan, tetapi Islam adalah kedamaian dan dengan kedamaian itulah selayaknya umat muslim melakukan gerakan yang menyebabkan kesengsaraan. Gerakan Usman berlanjut, menyebarkan pamflet ke seluruh lapisan masyarakat menyudutkan SI, “Menghentikan Rakyat Biasa dari Bergabung dengan Sarekat Islam” yang isinya menuduh SI dan pak Tjokro menjalankan aktivitasnya dengan tidak Islami sama sekali.

Gerakan Belanda juga dilakukan lebih jelas, seperti usaha penangkapan pak Tjokro, yang akhirnya berhasil ditangkap sekitar Agustus 1921. Namun, pak Tjokro harus dilepas karena kurang bukti. Meski demikian, kita akan lihat bahwa politik penangkapan pak Tjokro sebenarnya merupakan bagian dari usaha memecah kekuatan beliau dan SI sehingga menjadi lemah. Mengapa begitu? Ya, Belanda memahami di dalam SI sejak awal telah dimasuki paham komunis yang berseberangan dengan Islam, sebagaimana mereka  sendiri di negeri Belanda, yang juga terkena dampak rongrongan komunis. Apalagi setelah jatuhnya Tsar Rusia ke tangan kaum komunis pada Maret tahun 1917, ideologi Sosialis-Marxis makin bercokol di negara-negara Eropa. Sehingga dalam perjalanannya, Belanda tidak tegas menghabisi kaum Marxis di Indonesia sejak masuknya tahun 1914, bahkan kelihatannya memang kaum Marxis dijadikan alat untuk menggerogoti kekuataan besar SI dari dalam.

Keberadaan pak Tjokro dan Abdoel Moeis sebagai wakil SI di Volksraad lambat laun mulai dipertanyakan, terutama dari kalangan SI berhaluan kiri seperti Semaoen, Alimin, Darsono dan Moeso. Apalagi meski telah berjuang dengan sekuat tenaga di dalam, ternyata salah satu mosi yang paling penting, yaitu pengurangan tanaman perkebunan terutama tebu di lahan rakyat antara 25%-50% tak pernah disetujui pemerintah Belanda. Rongrongan dan tindakan radikal dari kaum kiri di SI yang cenderung beroposisi terhadap kebijakan CSI maupun pak Tjokro sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1914, ketika Sneevliet seorang kiri Belanda masuk ke Semarang dan mulai menyebarkan Komunisme lewat organisasi bentukannya, yaitu ISDV serta berkenalan sekaligus melakukan kaderisasi dengan para tokoh SI cabang Semarang.

Tahun 1915, Semaoen bertemu Sneevliet yang memiliki perilaku sosial berbeda dengan orang Belanda lainnya yang cenderung kapitalistik-materialistik-rasistik serta merendahkan kaum Bumiputera. Sneevliet mulai mengajak Semaoen berdiskusi tentang realitas, penindasan masyarakat serta kekuatan Kapitalisme yang cenderung melemahkan kekuatan rakyat. Mudahnya, Sneevliet secara perlahan mulai menanamkan ajaran Marxisme kepada Semaoen. Tahun 1916, Semaoen keluar dari pekerjaannya sebagai turu tulis, pindah ke Semarang dan mulai intens bergerak dalam kegiatan-kegiatan ISDV, organisasi komunis bentukan Sneevliet yang pusatnya berada di Semarang. Selain di ISDV, Semaoen juga menjadi salah satu pimpinan Vereniging van Spooren Tramwegpersoneel (VSTP). Sejak di Semarang, Semaoen banyak mengorganisir vergadering-vergadering VSTP sembari memimpin serikat-serikat buruh. Teman Semaoen lain sesama anggota SI namun akhirnya ikut berhaluan kiri dan mendapatkan didikan Marxisme dari Sneevliet adalah Marco, sang Jurnalis Radikal, Haji Misbach, Darsono, Alimin dan Moeso. Layaknya gaya infiltrasi komunis, Sneevliet menjaring orang-orang cerdas melalui SI karena ia sadar bahwa SI memiliki basis massa demikian besar.

Semaoen, setelah menjadi kiri, mulai sering berbeda pandangan dengan pak Tjokro, Abdoel Moeis dan Agoes Salim. Misalnya, pada saat Kongres Nasional Pertama Centraal Sarekat Islam di Bandung tahun 1916, Semaoen terang-terangan menentang Islam sebagai dasar pergerakan. Semaoen juga mengkritik pidato pak Tjokro sebelumnya ketika beliau menyampaikan gagasan mengenai Zelfbestuur. Padahal hampir semua peserta kongres saat itu menerima jalan pikirannya pak Tjokro. Semaoen berbeda, dia berbicara keras dan mengatakan sudah terlalu banyak SI berbicara di setiap kegiatan vergadering dan menulis kritis di surat kabar. Sudah waktunya, menurut Semaoen, mengadakan tindakan-tindakan nyata dan radikal.

Kritik lain juga dilakukan Semaoen saat melihat komposisi keanggotaan Volksraad. Kesimpulan Semaoen, Volksraad tidak berguna bagi rakyat karena 19 orang Volksraad yang diangkat dari dewan daerah dan dewan kota, di dalamnya terdiri atas 5 orang kapitalis yang sudah pasti tidak akan memihak kaum kromo, 2 orang ningrat yang bila dilihat dari kelasnya tidak akan memihak kromo, 4 orang Belanda sudah pasti menjadi bagian kepentingan dari pemerintah Belanda, 3 orang Tionghoa pasti tidak peduli pada cita-cita Zelfbestuur, 2 orang Manado sudah pasti alat Belanda, seorang pendukung Indie Weerbaar dan mendukung Kapitalisme, dan hanya 1 orang CSI yang membela kepentingan rakyat, yaitu Tjokrominoto. Dari kesembilan belas orang yang dipilih Gubernur Jenderal, 9 orang Belanda pasti pro-pemerintah Belanda, 10 orang pribumi, 6 orang tidak begitu dikenal, 3 orang bupati dan seorang dari CSI, yaitu Abdoel Moeis. Semaoen bahkan secara terbuka melakukan kritik terhadap pak Tjokro, Tjipto Mangoenkuoesoemo, Dwidjosewojo, dan Abdoel Moeis setelah mereka masuk menjadi anggota Volksraad, melalui surat kabar Sinar Djawa. Ia meminta agar segera menolak pengangkatan tersebut dan bekerja di luar Volksraad untuk kepentingan rakyat:

“Tidak perlu duduk dalam Volksraad itu, sebab suara mereka pasti kalah. Lebih baik memperkuat perkumpulan-perkumpulan rakyat daripada berbicara dalam Volksraad yang tidak dipedulikan sebagian besar anggotanya; bicara di luar juga bisa lebih dipercaya oleh rakyat, serta memberi pimpinan dan opvoeding (pendidikan) yang amat baik pada rakyat Bumiputera”.

Marco juga tidak ketinggalan melakukan protes atas komposisi keanggotaan Volksraad sebagaimana ditulisnya di Sinar Hindia, 24 Juli 1918: “Jadi saudara boleh berpikir sendiri keadaannya Dewan Rakyat itu! Betulkah pemerintah Hindia Belanda hendak membuat Hindia Belanda merdeka? Hindia merdeka? Nederland celaka!” Tidak puas dengan kritikan sebelumnya, tiga bulan sesudah Volksraad dibuka pada 26 Agustus 1918, tiga bulan sesudah Volksraad dibuka pada 26 Agustus 1918, Semaoen kembali melakukan serangan lewat Sinar Hindia dengan mengatakan tidak ada harapan bagi Volksraad karena hanya akan menidurkan gerakan rakyat, apalagi bila melihat susunan anggota-anggotanya yang jelas sekali lembek dan lambat.

Kritik-kritik kubu SI Semarang banyak yang benar. Hal itu kemudian disikapi CSI, seperti dijelaskan di atas, dengan mengajak beberapa orang anggota Volksraad dalam pembentukan radicale consentratie, sayap kiri di tubuh Volksraad. Beberapa gerakan Semaoen dan kawan-kawan beraliran Islam memang tidak begitu meresahkan kalangan SI, seperti tulisan kritis mengenai Volksraad, pembelaan terhadap gerakan buruh, menggerakan pemogokan, mengkritik ekploitasi Belanda secara terang-terangan, dan lainnya yang bersifat gerakan perlawanan.

Benturan terjadi ketika Semaoen dan kawan-kawan mulai mempertanyakan substansi sekaligus melakukan penolakan Islam sebagai sebagai pusat gerakan. Islam bagi mereka hanyalah simbol, Tuhan hanyalah simbol, sedang keberadaannya tidaklah penting. Bagi mereka, realitas itu berbasis materialisme historis, realitas yang jelas tercandra dan bersifat historis. Benda atau materi dalam ajaran Marxis memiliki kesamaan dengan logika Kapitalisme maupun Positivisme Yunani, yaitu sebagai pusat dari realitas. Bagi Marx, materi bukanlah statis, tetapi dinamis selalu berubah dan terdapat eksistensi yang berlawanan. Materialisme mekanis adalah aliran yang berpandangan bahwa materi selalu berubah hingga menyejarah dan memunculkan kesadaran manusia. Dengan cara demikian dialektika proses terjadinya diskursus dari tesis, antitesis, menjadi sintesis terjadi sekaligus menyejarah. Melalui jebakan pikiran materialistik, menyejarah, dan eksis, Semaoen dan kawan-kawan jelas sekali tidak dapat mengerti mengapa pak Tjokro beserta pengurus maupun anggota SI yang memercayai keberadaan Tuhan, yang tidak kasat masa, apalagi menyerah.

Bagi pak Tjokro, Semaoen adalah anak muda yang sedang bergelora semangatnya. Ketika nanti mereka mulai sadar apa itu Islam, mereka akan paham dengan gerakan SI. Pak Tjokro tidak kemudian melakukan pemberangusan pemikiran atas Sosialisme, tetapi mencoba melakukan diskursus kritis menggunakan Islam sebagai pusatnya. Berdasarkan pemikiran mendalam itulah kemudian beliau menuliskan buku fenomenalnya tahun 1924 yang berjudul Islam dan Sosialisme.

Semangat beliau ketika menulis Islam dan Sosialisme adalah untuk menurunkan pandangan normatif Islam dalam realitas empiris Indonesia saat itu tanpa harus menghilangkan ruh Islam itu sendiri, Tauhid, yang harus menjadi pusat seluruh kehidupan. Berikut penegasan pak Tjokro:

Hanya Islam itu saja agama yang mencampurkan perkara lahir dengan perkara batin. Islam memberi aturan untuk pedoman bagi perikehidupan batin dan juga pedoman bagi pergaulan hidup bersama, bagi perkara-perkara politik, pemerintahan negeri, militer, kehakiman, dan perdagangan dunia.

Pak Tjokro dalam bukunya juga menjelaskan berbagai bentuk Sosialisme, mulai dari Social Democratie (Marxisme) yang sangat sosialis, Anarchisme berbasis gerakan buruh, Staatssocialisme berorientasi kuasa dan politik dan Akkersoscialisme yang menekankan hak tanah beserta isinya:

Bagi pak Tjokro, semua model Sosialisme di atas tidak dapat berdampingan secara langsung dengan Islam tanpa perubahan fundamental, karena memiliki satu tujuan, Materialisme. Penolakannya terhadap materialisme, telah menempatkan pak Tjokro sebagai salah satu pemikir Indonesia paling awal Islamisasi Ilmu, Islamisasi atas konsep Sosialisme Marx.

Akan tetapi, rupanya memang kekuatan ideologisasi Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atas paham Komunis Marxisme sangat kuat sehingga Semaoen dan kawan-kawan menjadi semakin bergeser ke kiri dan mulai melakukan pembusukan di dalam. Berdasarkan perbedaan pendekatan ideologis atas gerakan itulah, kemudian Semaoen dan kawan-kawan mulai menganggu stabilitas SI secara organisatoris.

Pengaruh Semaoen dan kawan-kawan mulai tak terbendung, apalagi setelah tahun 1918 Semaoen berhasil menduduki jabatan Komisaris CSI. Tahun 1919 pengaruhnya makin meningkat setelah banyak cabang mulai terserang virus komunis. Tanggal 23 Mei 1920, ISDV yang sebelumnya belum melakukan positioning secara tegas, menjadi makin kokoh dengan perubahan namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal tersebut ditandai dengan para kader SI yang juga kader ISDV secara resmi mendeklarasikan dirinya sebagai kader komunis seutuhnya.

Meski konflik mulai meruncing, Kongres Nasiional CSI Keempat, tanggal 26 Oktober-2 November 1919 di Surakarta tetap digelar dan dihadiri 83 Afdeling mewakili 2.500.000 anggota. Di sisi lain jumlah anggota SI meningkat drastis. Dari hanya 2.000 tahun 1911 menjadi berlipat-lipat mencatat 2.500.000 orang. Prestasi pak Tjokro yang luar biasa. Di sisi lain terjadi penguatan ideologis SI terutama dalam hal pembelaan terhadap buruh dan petani, hasilnya adalah Abdoel Moeis, Sosrokardono, Semaoen dan Darsono ditangkap.

Agoes Salim, Abdoel Moeis dan beberapa pengurus sentral SI lain yang lebih “Islami” sebenarnya sudah tak dapat menahan emosi berkenaan ulah “anak-anak nakal” SI Merah. Hanya karena faktor pak Tjokro lah, Semaoen dan kawan-kawan masih tetap berada di bawah SI. Bahkan, tahun 1920 ketika SI Merah melalui Darsono menyatakan ketidakpercayaan terhadap pak Tjokro, beliau tetap saja bersikap sabar. Namun, sikap SI Merah terus saja tak henti-hentinya melakukan perongrongan, baik secara internal maupun menggunakan organisasi berbuat radikal.

Posisi pak Tjokro dan kalangan SI “Putih” mulai terpojok. Pak Tjokro sendiri yang sebelumnya relatif lunak terhadap Semaoen, mulai memikirkan kembali kedekatan SI secara formal maupun informal dengan kader-kadernya yang beraliran komunis. Belum lagi karena terlalu “kiri” nya SI karena ulah “anak-anak nakal” itu, SI banyak kehilangan anggotanya terutama dari kalangan Arab dan keturunan serta para saudagar/pedagang, yang selama ini ikhlas menjadi mesin uang untuk pergerakan, termasuk surat kabar SI yaitu Oetoesan Hindia serta surat kabar lainnya.

SI semakin radikal di mata Belanda, apalagi setelah Gubernur Jenderal Stirum diganti oleh Dirk Fork. Seperti dikatakan Sukarno sebelumnya, Dirk Fork tidak lagi moderat seperti Stirum, setiap aktivitas yang dianggap mengganggu rust en orde (keamanan dan ketertiban) harus ditangkap dan dijebloskan penjara. SI sendiri mulai menyadari hal itu, ketika mulai banyak pengurus pusat, lokal, maupun anggota SI di daerah ditangkapi akibat statement keras maupun pemogokan-pemogokan sehingga mulailah SI mencoba mengubah strategi politiknya. Akan tetapi, SI Semarang dan lainnya yang berhaluan komunis tidak mau tahu.

Akibat ulah SI Semarang yang banyak menebar onar lewat pemogokan-pemogokan buruh, merongrong keberadaan dan mencederai rust en orde pemerintah Belanda. Mengapa hal ini terjadi? Karena sampai tahun 1920 Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) sebagai federasi buruh di bawah SI banyak dikendalikan oleh kaum komunis yang melakukan provokasi berlebihan untuk keuntungan mereka sendiri. Pak Tjokro dan kawan-kawan mulai khawatir dengan hal itu sehingga tahun itu juga mereka mengamankan dan menariknya berbagai organ gerakan buruh yang tergabung dalam PPKB serta memindahkan pusat PPKB ke Yogyakarta. Namun, pengamanan kurang cepat karena beberapa organisasi buruh yang diprovokasi orang-orang SI berfaksi PKI mendorong radikalisasi terlalu kuat.

Kongres Nasional Kelima tanggal 2-6 Maret tahun 1921 di Yogyakarta dihadiri oleh 57 cabang. Meski konflik memanas, tetapi pak Tjokro masih hadir dalam Kongres. Perpecahan tak terjadi waktu itu. Puncaknya, pak Tjokro ditangkap akhir Agustus 1921, setelah 20 kali diperiksa berkaitan dengan peristiwa pemogokan di Garut yang melibatkan nama beliau. Penangkapan di satu sisi sebenarnya membuat nama beliau makin disegani di dunia pergerakan, tetapi di sisi lain menjadi puncak masalah lain, yaitu pecahnya SI. Drama perpecahan dan perseteruan di tubuh SI semakin terbuka dan mulai terbaca oleh pihak Belanda. Gerakan pemerintah Belanda makin diruncingkan. Internal SI sendiri melihat gerakan komunis mulai tak masuk akan dan seenaknya sendiri. Agoes Salim dengan beberape pengurus SI lain serta bantuan Muhammadiyah mulai memperkuat barisan anti PKI. Berdasarkan pertemuan-pertemuan lanjutan, kemudian digagas disiplin partai pada pertemuan bestuur CSI, 30 September 1920 sekaligus membahas persiapan mengadakan Kongres Nasional.

Kongres Nasional SI keenam tahun 1921 di Surabaya menjadi titik awal pecahnya SI. Satu-satunya yang tidak dihadiri padi Surabaya menjadi titik awal pecahnya SI. Satu-satunya yang tidak dihadiri oleh pak Tjokro. Penulis melihat kata kuncinya adalah pak Tjokro harus tidak hadir di kongres. Karena, dengan tidak hadirnya pak Tjokro di kongres, akan menjamin perpecahan memuncak, SI makin lemah dan komunis segera terpisah dari SI. Belanda paham bahwa perekat di kalangan SI hanyalah pak Tjokro. Meskipun pertentangan ideologis semakin meruncing di SI. Pak Tjokro sebenarnya telah melakukan kajian mendalam yang serius atas paham Islam dan Sosialisme. Kajian itu sebenarnya pula merupakan bagian dari dakwah yang berproses kepada SI Merah untuk memahami Islam sebagai kata kunci dari Sosialisme sebagai gerakan dengan tetap mengunakan ruh Islam itu sendiri. Akan tetapi, memang hal itu sulit dilakukan apabila bukan oleh pak Tjokro sendiri. Hal itu pula yang dijadika taktik Belanda untuk memecah belah SI. Kongres memutuskan dijalankannya disiplin partai yang dirancang oleh Agoes Salim:

“...bahwa keanggotaan SI dapat dirangkap dengan organisasi atau perkumpulan lain semacam Moehammadiyah atau Boedi Oetomo. Namun keanggotaan tak bisa dirangkap dengan keanggotaan partai lain atau pegawai pemerinah. Bagi yang sudah terlanjur, silakan memilih: melepas keanggotaan partai atau lepas dari SI sama sekali”.

Akhirnya ... SI pecah dan kelompok komunis keluar dari SI. Bulan April 1922, Pak Tjokro dibebaskan karena kurangnya bukti keterlibatan beliau dari pemogokan di Garut sebagaimana dituduhkan Belanda. Meski periode 1921 ditandai dengan penurunan anggota SI secara drastis, beliau tetap berjalan teguh dalam organisasi. Perjuangan pak Tjokro tak berhenti sampai di situ. Setelah Semaoen dan kawan-kawan resmi dikeluarkan dari SI, pak Tjokro memulai penguatan organisasi secara masif. Salah satunya adalah meluncurkan penguatan ideologi SI, ideologi berbasis Islam dalam pembelaan terhadap kepentingan rakyatnya, kemerdekaannta serta kemandirian bangsa, yaitu Sosialisme Islam.


Sumber :

 Buku Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto hlm. 102-115 pengarang Aji Dedi Mulawarman



Komentar

Postingan Populer