Mendidik Anak dengan Kecerdasan Emosional



Kecerdasan Emosional: Cara Baru untuk Membesarkan Anak

Anak-anak yang masih kecil pada dasarnya mempunyai sifat percaya diri yang alami, bahkan ketika menghadapi sesuatu yang mustahil dan kegagalan yang berulang kali. Sebagai penemu pertama eksperimen menara, Deborah Stipek menulis, “Hingga usia enam atau tujuh tahun, anak-anak menaruh harapan yang tinggi untuk berhasil meskipun kinerja pada usaha-usaha yang dilakukannya hampir selalu buruk.. mereka hampir selalu mempunyai harapan dapat menaikkan pelat sampai ke puncak, bahkan meskipun mereka hampir tidak mengangkat pelat itu dari tempat asalnya tanpa menjatuhkan bola pada empat usaha pertama.”

Apakah Kecerdasan Emosional Itu?
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari Universitas of New Hampsire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain adalah:
·         Empati
·         Mengungkapan dan memahami perasaan
·         Mengendalikan amarah
·         Kemandirian
·         Kemampuan menyesuaikan diri
·         Disukai
·         Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
·         Ketekunan
·         Kesetiakawanan
·         Keramahan
·         Sikap hormat
Berkat buku best-seller karya Daniel Goleman yang laris pada tahun 1995, Emotional Intelligence, konsep ini menyebar luas dan menyeruak menyadarkan masyarakat, dijadikan judul utama pada masalah sampul majalah Time dan dijadikan pokok pembicaraan dari kelas-kelas hingga ruang-ruang rapat. Peran nyatadan pentingnya EQ bahkan telah sampai ke Gedung Putih. “Tahukah kalian bahwa sekarang ada buku yang istimewa?’ kata Presiden Clinton kepada para wartawan di Tattered Cover Bookstore di Denver, Colorado, di tengah-tengah kesibukan kampanyenya. “Buku itu adalah Emotional Intelligence. Buku tersebut sungguh menarik.Saya menyukainya. Hillary yang memberikannya pada saya.”
Sangat tertariknya banyak orang pada konsep kecerdasan emosional memang dimulai dari perannya dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, tetapi selanjutnya orang menyadari pentingnya konsep ini baik di lapangan kerja maupun di hampir semua tempat lain yang mengharuskan manusia saling berhubungan. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang samauntuk membuat anak Anda siswa yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga.
Dalam banyak penelitian terhadap perusahaan-perusahaan Amerika, orang-orang dewasa tampaknya tidak berbeda dengan ketika masih kanak-kanak, dan dunia kerja tampaknya berfungsi sebagai arena permainan politik. Ini tidak mengherankan para konsultan sumber daya manusia yang selama sekian tahun telah menyatakan bahwa di setiap jenjang aktivitas perusahaan, dari tempat penjualan sampai ruang rapat, “keterampilan komunikasi” sungguh penting. Namun, besarnya pengaruh keterampilan EQ terhadap dunia kerja masih tetap mencengangkan. Sebagai contoh, Alan Farnham melaporkan dalam sebuah artikel di majalah Fortune bahwa suatu studi di Bell Labs menemukan mangapa sebagian ilmuwan berprestasi rendah dalam pekerjaannya, kendati kemampuan intelektual dan pengakuan akademiknya sama dengan ilmuwan yang kinerjanya tinggi. Para peneliti mempelajari pola E-mail yang dibuat oleh semua ilmuwan itu, dan menemukan bahwa ilmuwan-ilmuwan dan sosialnya cenderung disisihkan oleh rekan-rekannya, sebagaimana halnya anak yang tidak bisa bekerja sama dalam permainan di arena bermain. Namun, arena bermain di Bell Labs adalah ruang mengobrol elektronik, yang selain digunakan untuk bergosip, juga sebagai tempat orang bertukar informasi profesional yang penting dan mencari pemecahan ketika proyek yang dihadapi sedang macet. Studi itu menyimpulkan bahwa isolasi sosial dapat dianggap sebagai salah satu penyebab rendahnya EQ, yang berakibat menurunnya prestasi kerja.
Walaupun kecerdasan emosional belum lama menjadi istilah populer seperti sekarang, penelitian tentang bidang ini tidak baru. Selama lima puluh tahun terakhir, sudah ribuan penelitian yang mempelajari perkembangan keterampilan EQ pada anak-anak. Sayangnya, hanya sedikit di antara temuan-temuan ini yang memperoleh jalan untuk diterapkan dalam praktek, terutama karena skismaantara dunia akademik yang terpaku pada paradigma-paradigma statistik yang terencana dengan cermat dan dunia para pejuang di garis depan yang harus menghadapi keadaan yang berubah-ubah, yakni para guru dan profesional bidang kesehatan mental. Tetapi, kita tidak dapat lebih lama lagi bertahan pada pola membesarkan dan mendidik anak yang hanya didasarkan pada intuisi atau “fatwa politik”. Sebagaimana kedokteran atau ilmu-ilmu “keras” lain, kita harus merujuk ke sebuah lembaga pengetahuan informasi lengkap, karena ini akan mempengaruhi kesejahteraan sehari-hari anak. Seorang profesor di Brown University, William Damon, dengan tegas menerangkan masalah ini dalam kata pengantar bukunya Moral Child:
“Penelitian ilmiah tentang moralitas anak mempunyai potensi besar untuk membantu kita dalam upaya memperbaiki nilai-nilai moral anak. Namun, ini potensi yang belum dimanfaatkan karena kebanyakan penelitian ini tidak diketahui oleh umum, diabaikan sebagai sesuatu yang tidak relevan, atau dianggap omong kosong belaka.... [Sebagian] karya ilmiah mengenai moralitas anak tetap tersembunyi karena tertumpuk di antara jurnal-jurnal akademik dan tersebar di antara tulisan-tulisan ilmiah  profesional yang berbeda-beda.”
Kita juga dapat memandang sekolah-sekolah sebagai informasi praktis tentang efektivitas pengajaran kecerdasan sosial dan emosional. Walaupun ada kontroversi di antara para pendidik mengenai faedah mengangkat kesehatan mental ke dalam pendidikan umum, namun selama dua puluh tahun terakhir, ratusan juta dolar telah dikeluarkan untuk pengajaran keterampilan sosial dan emosional ini. Legitimasi pengajaran keterampilan ini di sekolah-sekolah dapat dirunut balik ke sebuah undang-undang yang disahkan Kongres, Public Law 94-142, Education for All Handicapped Children’s Act (undang-undang pendidikan bagi anak-anak cacat). Undang-undang yang merupakan terobosan besar ini menyatakan bahwa semua anak-anak di Amerika Serikat mempunyai hak atas pendidikan umum tanpa memandang ketidakmampuan atau kecacatan mereka, dan semua masalah yang merintangi kemampuan belajar anak harus diatasi oleh sistem sekolah. Psikolog sekolah dan guru-guru sekolah luar biasa yang berusaha menerapkan undang-undang ini merupakan sebagian dari profesional –profesional pertama yang mencoba menghubungkan apa yang sekarang disebut EQ dengan prestasi akademik dan keberhasilan sekolah. Berkat upaya mereka, sekarang kita dapat menyaksikan bermacam-macam teknik dan beragam program yang dikembangkan untuk anak-anak dengan kebutuhan-kebutuhan khusus dan menerapkannya pada anak-anak di rumah.

Komentar

Postingan Populer