"Chef Papa"
Kelas VII
SMP
Muhammadiyah 1 Purwokerto
Desember,
2010
Teng. . . teng. . . teng . . . .
Sebuah
jam dinding klasik mencoba membangunkan para penghuni rumah bernomor 5A di
pinggiran jalan Ahmad Yani kota Purwokerto.
Didalamnya,
ada seorang ibu yang sudah bangun dengan kesibukan setiap paginya, ada juga yang
sudah berada di musholla rt setempat untuk shalat subuh berjamaah. Sementara
aku baru terbangun, bukan karena tahrim subuh ataupun jam dinding tersebut
melainkan sayup-sayup terdengar suara Ibu yang memanggil namaku dari dapur.
“Ris.. ris.. tangi. .”
“(Ris. . ris. . bangun. . )”
Setelah
sadar, dengan malas perlahan memosisikan badan untuk bangun dan duduk di
pinggir tempat tidur atau amben
berukuran kecil nan imut ini. Menghela
nafas atas sisa kantuk, aku mencoba bersyukur atas kesempatan hidup yang Tuhan
berikan. Setelah nyawa terkumpulkan, kupaksakan berjalan menghampiri tempat
wudhu untuk menjalankan shalat subuh. Barulah segala persiapan mandi telah
disiapkan ibu dan tak lama air dingin bak derita hidup sudah membasahi tubuh.
Perkenalkan namaku Aris Rasyid Setiadi, seorang pelajar pendiam yang menginjak usia ke-13
tahun di kelas VII di SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto, sebuah hari baru
dengan pakaian putih biru setelah sebelumnya putih merah selama enam bulanan
lalu.
Jam
menunjukkan pukul 05.30. Seperti biasanya setelah mandi pagi biasanya aku ikut
menemani ibu ke pasar guna membeli sarapan dan kebutuhan dapur. Dengan jarak
sekitar 100 meter dari rumah bertempat di pasar Pembimbing, Purwokerto Kidul. Di
pasar ini pasti ibu membelikan nasi kuning dan jajanan bubur putih yang tak
lain menjadi favoritku. Dua makanan satu paket lengkap yang tak boleh
tertinggal, bukan tak lain karena sudah ku fatwa kan wajib.
[06.20
WIB]
Setiap
pagi, kadang diantarkan ibu menggunakan sepeda kesayangan berwarna pink atau
seringkali berjalan kaki sampai setengah perjalanan, tepatnya di perbatasan
TPU. Entah apa tujuannya mungkin untuk menguji mental atau yang lain, untungnya
aku bukanlah anak indigo tulen.
Hari-hari
kujalani seperti biasa, setiap pagi nasi kuning langganan dan makan siang
sepulang sekolah adalah bakso, bakso dengan langganan ibu juga yang gerobaknya
persis di depan rumah. Rasanya sungguh enak dan berkelas.
Ngomong-ngomong
tahukah? hobiku adalah menggambar, seringnya
menggambar pemandangan alam, kendaraan dan kehidupan manusia dengan segala
tetek bengeknya dimana setiap waktu selalu menghabiskan buku gambar berukuran
A4 untuk semua imajinasi yang ada di kepala. Tentu ada alasan kenapa sangat
menyukai dunia menggambar, terlebih ada kebiasaan dari ayahku yang dimana
setiap pekan selalu mengajakku untuk ikut kulak
macaroni di pasar Legi di Solo sana,
entah setiap hari minggu atau hari weekday yang kadang seenaknya aku izin tidak
masuk sekolah.
Menggambar
bagiku adalah seni kita mensyukuri pemberian Tuhan tentang akal dan imajinasi. Setiap
kulak ke Solo, tentu dalam
perjalanannya tersuguhkan pemandangan dan berbagai kendaraan yang ajaibnya aku menjadi
hafal segala nama serta emblem kendaraan. Saking khatamnya sampai paham lekuk
bodi mana yang masih bagus dan sudah lecet.
Lebih
indah apabila mampir ke rumah makan dengan berbagai menu masakan padang, rames,
soto dan nasi goreng yang menjadi top list favorit.
[Juli,
2008]
Malaikat
kecil lahir, bernama Rifka Dwi Yuliani.
Tepat
tanggal 12 Juli, lahir perempuan cantik dan berkulit merah khas bayi terlihat. Saat itulah dunia mulai berubah ala power rangers.
Sebagai anak pertama yang baru mempunyai adik, tentu perhatian orang tua otomatis
teralihkan, termasuk pilihan menu sarapan. Yang tadinya nasi kuning
dengan kering tempe, ditambah irisan telur dengan beberapa kacang goreng dan
sambal yang tiada tiganya kini terduakan dengan nasi goreng buatan papa yang
akan kuceritakan ini.
Hmm
sedikit mengernyitkan dahi dan ingin memberontak tapi sadar bahwa di usia yang
sekarang sudah baiknya mulai berfikir baik buruk maupun dosa terhadap orang
tua. Setelah kupaksakan masakan papa ternyata. . . .
“Wah gila !!”
“Nikmat
Tuhan manakah yang kamu dustakan, tiada lain tiada bukan nasi goreng ala chef
papa”, pikirku
Ini yang
menjadi momen pertama kalinya dalam hidup merasakan nasi goreng buatan papa,
dan ternyata sangat enak bak bintang lima.
Apa yang
menjadikan kita suka terhadap sesuatu yang baru tentu beralasan baik jika
dipahami secara dewasa. Dimana kita ada saatnya merasa tidak diperhatikan semenjak
adik kita lahir, seperti jarang dibelikan mainan baru, hingga semua celengan masa SD
berisi uang recehan yang beratnya hampir dua kilo itu sering diambil kedua ayah
ibu guna keperluan sang adik maupun rumah tangga.
Namun
anehnya, aku menikmatinya. Menikmati semua penderitaan itu asalkan ada nasi
goreng buatan papa di setiap pagi. Dimana setiap bangun pagi dan ibu tidak
membelikan nasi kuning disaat itu juga aku selalu menanti bau-bau bumbu dari
dapur dengan nasi yang baru dinanak setiap jam 04.00 paginya. Tentu aku masih ingat
dimana ayah seringkali bangun subuh dan shalat di mushala RT kami, barulah ayah bertindak
mengambil nasi, mengolah bumbu dan mulai memasak nasi goreng.
Istimewa
memang.
Terima
kasih ayah, masakan ala chef mu tiada duanya.
Peluk
hangat.
Komentar
Posting Komentar