"Diary Senja & Hujan"

 "Diary Senja & Hujan"

“Tiada yang menafikkan bahwa manusia suka bercerita dengan senja–hujan yang mampu mendamaikan sisi kehidupan"


Musim Gugur

Segala sesuatu  terus menghujani hidup untuk memberikan makna. Sebuah perjuangan terus-menerus lahir tanpa tiada, sebagai tanda cinta walau raga sudah tak ada. Definisi-definisi hidup menjadi terasa sebagai perjuangan sayembara dunia, berakhir dengan memeluk erat untaian kata do’a. Dalam gurun gersang itu dicarinya ranting dan daun tua di bawah puluhan pohon rindang. Melihatnya, diambilah, terlihat warna cokelat tua yang menjadikannya rupawan, sangat menarik namun kehidupannya sudah tiada, tak lagi bernyawa. Tersirat pesan daun-daun musim gugur tadi bahwa kita hanya perlu mengeratkan hati kepada perrindu sejati agar perlahan luka derita kita mulai terobati.

Lahirlah di penjuru dunia...

Puisi-puisi tentang cinta begitu mengajarkan makna dalam kalbu. Menengadahkan tangan dalam setiap rintik-rintik ragu. Raga sakit, akalpun ikut sakit, lantas barangkali hatimu memilih menyendiri atas nama duka. Sangat merasa karsa tak tegar melawan usia, akal tak selalu menang melawan ego manusia dan hatipun terluka atas nama derita. Hentakan pukulan beban, aku terus berjalan, sangat menderita menuju akhir tujuan, betapa lebih baik daripada menyekolahkan lagi alasan-alasan sejuta kebiasaan.

Kini

Dan sama,

Entah mungkin nanti

Mana hatimu tahu kalau wajah bumi ini sudah lusuh? menguning beku bagai ladang gurun gersang yang betahun-tahun. Terisak membilu untuk sejua harapan kemajuan di sudut merauke. Sederhana-sederhana saja hidup mereka disana, sadar tak terasa hidup tak seperti seharusnya. Jalan raya disana sekedar penerangan saja seperlunya, kuulangi lagi betapa sederhananya mereka. Berbanding terbalik di kota, para manusia di titik-titik revolusi industri terus menyalakan lampu di siang hari hanya untuk kebutuhan estetika.

Teringat, ribuan halaman kertas dipojokan kamarku itu nampak tak terlalu berguna. Termasuk lembar teratas yang tertulis wacana-wacana hidup dahulu yang telah berdebu usang tak tersentuh beberapa bulan. Di sebelahnya lagi tampak terlihat diriku sendiri sibuk berkutat dengan pikiran betapa  ngenesnya tentang hidup. Tuhan kini nafasku mulai kembali tak nyaman, terengah-engah dalam kematian.

Senja, kenangan bermakna, senyum suka derita, mereka bertiga akrab tak bertuan singgah di kepalaku. Sejatinya aku hidup dalam ketidakberdayaan, dimana tersudut waktu, terus menghibur diri, bertahan menjalankan syariat-syariat rindu, berulang kali mendekat lantas menjauh kepada Tuhan lagi dan aku hidup hanya sekedar meniup balon-balon kebahagiaan di muka bumi.

Menyoal bagaimana perjuangan kehidupan. Kita berangkat dari lusinan pengalaman, kebaikan dan tunpukan keburukan yang melahirkan keseimbangan sebagai makhluk pendosa. Biarlah saja pesan sore ini tak selalu terisi, tak apa selama aku masih menulis menungkapkannya maka tetap kutulis.

Komentar

Postingan Populer